Sabtu, 11 Oktober 2008

Malapetaka KPR Amerika

Catatan ini sekedar upaya pemahaman saya pribadi atas kejadian krisis keuangan global yang dimulai oleh krisis subprime mortgage di Amerika.

PERUMAHAN
Salah satu ideologi ekonomi Amerika adalah kepemilikan rumah. Memiliki rumah adalah salah satu mimpi Amerika. Rumah / properti juga dijadikan aset utama rakyat Amerika, mulai dari orang biasa sampai elit sekelas Donald Trump dan Robert T Kiyosaki.

Pada umumnya orang Amerika membeli rumah dengan fasilitas kredit (seperti KPR di Indonesia). Sejak depresi tahun 1930-an, sebagai salah satu upaya keluar dari krisis, pemerintah AS membangun infrastruktur ekonomi termasuk sektor properti dan perumahan. Pada tahun 1938 pemerintah AS membentuk BUMN The Federal National Mortgage Association (disingkat secara kreatif Fannie Mae). Tugasnya adalah membeli KPR dari perbankan sehingga perbankan memperoleh dana lagi untuk memberi KPR kepada lebih banyak rakyat Amerika. Fannie Mae membundel sejumah KPR untuk dijadikan produk sekuritas, mortgage-based securities (MBS). Fannie Mae menjual  MBS ini kepada para investor (Wall Street) atau menerbitkan obligasi dengan jaminan MBS ini. Para debitur KPR tetap melakukan pembayaran cicilan melalui bank asal, kemudian bank ini menyalurkan pembayaran itu kepada Fannie Mae untuk diteruskan kepada para investor.

Pada tahun 1968 Fannie Mae diprivatisasi. Kemudian untuk mengakhiri monopoli Fannie Mae pada tahun 1970  Kongres AS mengijinkan berdirinya perusahaan swasta The Federal Home Loan Mortgage Corporation (disingkat Freddie Mac). Meskipun tidak didanai pemerintah, 5 dari 18 direktur Freddie Mac ditunjuk oleh pemerintah (Majalah Tempo 21 September 2008). Kedua perusahaan ini sering disebut sebagai Government Sponsored Enterprise (GSE).

Selain itu, undang-undang perpajakan di AS juga memberi insentif untuk memiliki rumah, yaitu bunga cicilan KPR bisa dijadikan sebagai pengurang pajak.

UANG MURAH
Pada tahun 2000, ketika "DotCom" mania mulai tumbang, maka ekonomi AS memasuki perlambatan. Ditambah kejadian 9/11 pada 2001, maka ekonomi AS mengalami 2 pukulan bertubi-tubi. Bank sentral AS (The Fed) bereaksi dengan cara memotong bunga Fed rate berkali-kali sampai ke tingkat 1,25% p.a. Langkah ini memang manjur, ekonomi berputar kembali. Investasi marak karena biaya investasi (bunga riil) boleh dikatakan negatif (Al Jazeera, How Financial Bubble Burst).

Terjadi fenomena uang murah, pinjaman mudah. Hal ini memacu orang untuk (salah satunya) membeli rumah (ingat, kepemilikan rumah adalah impian Amerika). Karena permintaan meningkat, maka harga rumah juga melonjak. Para developer berlomba-lomba membangun rumah, para investor menanamkan uangnya disektor properti.

Harga rumah naik 20 persen per tahun (ingat hal ini terjadi pada waktu Fed rate hanya 1.25-2% per tahun). Menurut cerita, ada orang Indonesia tinggal di Washington DC membeli rumah tahun 1998 dengan harga US$ 210 ribu. Lima tahun kemudian ia menjualnya dengan harga US$ 410 ribu . Ibaratnya, orang ini tinggal 5 tahun tanpa membayar, malah dibayar.

Jika harga rumah naik 20 persen per tahun, maka di tahun kedua, nilai rumah (yang dijadikan jaminan) sudah 120 persen. Dengan demikian, nilai pinjaman (yang awalnya 100 persen terhadap nilai jaminan), pada awal tahun kedua menjadi hanya 83%. Nasabah yang pada tahun pertama hanya membayar bunga saja, tanpa pokok cicilan, tiba-tiba pada tahun kedua seakan-akan sudah membayar uang muka sebesar 17% (Cyrillus Harinowo, Majalah Tempo 12 Oktober 2008). Maka mulailah perbankan menawarkan KPR tanpa uang muka, dan mereka mulai menggarap segmen nasabah yang beresiko, khususnya nasabah berpendapatan rendah yang baru pertama kali membeli rumah. Ini yang disebut nasabah "sub-prime".


BUBBLE BURST
Karena harga rumah naik terus, maka perlahan-lahan mulai terjadi inflasi. Secara bertahap The Fed merespon dengan menaikkan suku bunga The Fed bertahap sampai akhirnya mencapai 5.25%. Karena tingkat bunga naik secara bertahap, maka para nasabah KPR perlahan-lahan melihat cicilan rumahnya juga perlahan-lahan naik, sampai.....suatu ketika mereka sadar mereka sudah tidak mampu bayar cicilan lagi. (Untuk Indonesia, situasi ini mirip bila suku bunga KPR yang sekarang rata2 10 persen perlahan-lahan naik menjadi 40%). Maka KPR mulai macet satu per satu, terutama bagi golongan "sub-prime" tadi. Maka dimulailah periode penyitaan rumah.

Para developer, tidak sadar atas situasi baru ini,  terus membanjiri pasar dengan rumah-rumah baru. Penjualan mulai seret, karena KPR mulai mahal. Stok rumah kosong makin bertumpuk, baik yang berasal dari rumah baru, maupun yang dari rumah sitaan.

Pada tahun 2006, harga rumah mulai turun. Di Florida dan California, harga rumah merosot 10, 15, bahkan 20 persen. Gelombang gagal bayar dan penyitaan makin membesar. Ditambah lagi karena nilai rumah turun, maka nilai jaminan juga turun, yang pada banyak kasus, menjadi lebih kecil daripada nilai pinjaman yang tersisa (Al Jazeera, How The Financial Bubble Burst).

Pada 2007, para kreditur KPR mulai goyah karena makin banyak kredit macet, beberapa diantaranya mulai bangkrut. Pada 2008 gelombang macet ini mencapai Wall Street, memakan Bear Sterns, kemudian Fannie Mae dan Freddie Mac, lalu Lehman Brothers dan Merryll Linch dan AIG.


SEKURITISASI MORTGAGE
Seperti diuraikan di atas, KPR-KPR di Amerika dibundel dan disekuritisasikan menjadi produk sekuritas yang dapat diperjual-belikan, seperti layaknya saham dan obligasi. Produknya dinamakan Mortgage-Based Securities (MBS), ada juga yang disebut sebagai Collateralised Debt Obligation (CDO).  Fannie Mae dan Freddie Mac berperan atas sekitar 50% dari total proses sekuritisasi mortgage di Amerika. Diperkirakan kedua GSE ini memegang mortgage senilai US$ 5.2 trilyun. Perdagangan MBS/CDO ini pada awalnya dimaksudkan untuk menyuntik dana segar ke perbankan sehingga mereka bisa membiayai KPR lebih banyak lagi.

Para pembeli produk sekuritas mortgage ini sangat banyak, mulai dari Reksadana, Dana Pensiun, Hedge Funds, Private / Investment Banks, dan lain-lain; di Amerika dan di seluruh dunia. Lehman Brothers, JP Morgan, Citigroups, Deutsche Bank salah satu di antara para pembeli itu.

Untuk melindungi pembeli / pemegang MBS / CDO ini, lalu muncul produk turunan yang dinamakan Credit Default Swap (CDS). Ini semacam asuransi obligasi yang melindungi pemilik obligasi dari kerugian bila obligee-nya mengalami kesulitan. Perusahaan yang menerbitkan asuransi ini tentunya harus menyisihkan dananya sebagai "kolateral", sehingga penerbit CDS bisa membayar klaim.

Dengan asumsi bahwa harga properti akan naik terus, maka perdagangan MBS / CDO berikut derivatifnya (CDS dll) makin naik volume dan nilainya, berlipat-lipat di atas nilai awal mortgage-nya.


KEKACAUAN WALL STREET
Sekitar 20% dari jutaan mortgage yang diperjual-belikan ternyata merupakan kategori "sub-prime".  Ternyata pula, sebagian MBS / CDO tadi mengemas mortgage "prime" dan "sub prime" dalam satu bundel / produk. Konsekuensinya, pada saat baik, mortgage "sub prime" akan dinilai sebagai produk bagus, karena disatukan dengan mortgage "prime". Sebaliknya, ketika situasi memburuk, maka mortgage "prime" akan dinilai buruk karena bersatu dengan mortgage "sub-prime". Ketika para nasabah "sub-prime"  mulai mengalami gagal bayar cicilan, maka dimulailah malapetaka ini.

Di garis depan yang pertama bangkrut adalah kreditur KPR, dimulai sejak tahun 2007. Mereka mengalami kesulitan likuiditas (karena nasabah gagal membayar cicilan), ditambah kerugian karena nilai jaminan menjadi dibawah nilai pinjaman.

Fannie Mae dan Freddie Mac giliran berikutnya. Karena berpotensi mengalami kerugian, para investor melepas saham GSE ini di bursa Wall Street. Akibatnya saham kedua perusahaan ini jatuh bebas. Sejak awal 2008, saham biasa kedua perusahaan ini jatuh 85% dengan kapitalisasi pasar yang hilang lebih dari 100 milyar dollar. Menghitung kerugian saham preferensi agak lebih sulit. Mereka menerbitkan sejumlah saham preferensi dengan harga yang berbeda-beda. Salah satu saham preferensi Freddie Mac yang diterbitkan 29 November 2007 pada $25 per saham misalnya, ditutup dengan nilai $12.87 pada 27 Agustus 2008, menimbulkan total kerugian hampir 3 milyar dollar bagi pemegangnya. (Business Week, Fannie Mae and Freddie Mac: A Damage Report).

Berikutnya, para pemegang MBS / CDO. Karena nilai produk sekuritas ini terus turun, maka para pemegangnya harus menghapus-bukukan nilai dan mencatat kerugian. Akibatnya, saham perusahaan-perusahaan ini juga terjun bebas.  Karena tekanan kerugian dan anjloknya saham, dampaknya mulai mencapai investment-bank. Pada Maret 2008, Bear Sterns, investment-bank kelas utama yang pertama tumbang. 

Para pemilik dana menjadi ekstra hati-hati. Mereka menghentikan pinjaman kepada individu, private-banks, bahkan antar perbankan. Mengalami tekanan bertubi-tubi: kerugian MBS/CDO yang dipegangnya, hancurnya harga saham perusahaannya, dan hilangnya sumber pendanaan / pinjaman, akhirnya membuat Lehman Brothers bangkrut. 

CDS yang seharusnya diterbitkan dengan kolateral, ternyata banyak yang dibuat tanpa jaminan. Ini mungkin yang menyebabkan perusahaan asuransi AIG megap-megap sehingga harus dibantu pemerintah AS sejumlah 85 milyar dollar.

Bangkrutnya Lehman Brothers mengungkap lebih banyak borok. Seperti para dealer lainnya, Lehman melakukan transaksi beresiko tinggi memindahkan uang dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Dalam suatu transaksi derivatif, mitra diminta untuk menaruh kolateral, yang kemudian oleh Lehman kolateral ini digunakan berkali-kali untuk transaksi pengumpulan dana yang berlainan.  Asosiasi International Derivatif dan Swap (ISDA) memperkirakan para investment-bank berhasil mengumpulkan kolateral para mitra mereka sejumlah $2 trilyun, yang kemudian dijadikan kolateral lagi oleh para investment-bank itu untuk memperoleh dana beberapa kali lipat. Pengadilan kepailitan Lehman saat ini menangani sekitar 1 juta transaksi derivatif yang macet senilai lebih dari 700 milyar dollar dengan sekitar 8000 partner yang menuntut pengembalian kolateralnya. (Business Week, Lehman: One Big Derivatives Mess).


DUNIA GONCANG
Lehman juga menyebabkan main keringnya likuiditas pendanaan, yang pada akhirnya mendorong Wall Street makin jeblok. Setelah mulai batuk karena sub-prime mortgage, Wall Street makin hancur karena gabungan faktor-faktor: kerugian para emiten yang mengakibatkan investor menjual saham, praktek short selling yang makin menurunkan nilai saham, keringnya likuiditas yang menyebabkan pelaku pasar menjual saham untuk mendapatkan dana tunai, dan kepanikan karena tidak ada yang tahu sebesar apa gunung es yang ada di bawah permukaan.

Karena seluruh bursa saham di dunia saling terhubung satu dengan yang lain, maka faktor-faktor di atas juga terjadi di semua bursa saham di dunia. Bank-bank di Eropa memiliki banyak eksposure terkait dengan produk MBS/CDO ini. Penurunan nilai sekuritas ini memaksa bank-bank mencatatkan kerugian (dalam orde milyar-milyar dolar), yang kemudian menjatuhkan nilai saham bank-bank ini, kemudian memicu kepanikan para nasabah bank atas keamanan simpanan mereka di bank.  Sejumlah pemerintah di Eropa telah menasionalisasi sejumlah bank dalam rangka menjamin dana simpanan para nasabah.

Bursa saham Indonesia tidak terkecuali. Faktor negatif lokal juga memperparah IHSG. Faktor lokal yang dimaksud adalah transaksi Repo dan sentimen negatif kelompok Bakrie. Rupiah juga merosot nilainya terhadap dollar Amerika karena gabungan faktor-faktor: pelarian modal investor asing dari bursa ke luar negeri (mungkin untuk menutupi kerugian atau kebutuhan dana), dan kepanikan para pelaku ekspor-impor yang tiba-tiba menghadapi situasi kurangnya pasokan dollar.


Sejauh ini, begitulah pemahaman saya atas krisis finansial global yang bermula dari krisis subprime mortgage di Amerika. Entri selanjutnya akan menguraikan pemahaman saya mengenai langkah perbaikan yang dilakukan.


Sabtu, 09 Agustus 2008

Merah Kirmizi


Novel karya Orhan Pamuk ini (pemenang Nobel Sastra 2006) memang bukan novel baru. Edisi bahasa Indonesia terbit tahun 2001, cetakan kedua terbit tahun 2006. Saya sendiri baru selesai membacanya hari ini, padahal saya beli di Palasari Lebaran tahun lalu.


Ceritanya mengenai pembunuhan 2 seniman Ustmaniyah di ujung abad ke enambelas yang terjadi di ibukota Istanbul. Eksplorasi pengarang atas pembunuhan ini berkembang luas: cinta getir banyak segi, benturan peradaban, deskripsi seni terutama seni lukis yang fasih, dan sejumlah dongeng klasik.


Para tokoh dalam buku ini muncul secara bergantian dan masing-masing bertutur mengenai apa yang terjadi dilihat dari sudut pandang masing-masing tokoh. Pada adegan pembunuhan, misalnya, Pamuk menceritakan adegan ini dilihat dari tokoh yang dibunuh dan pada bab berikutnya cerita dari si pembunuh.


Pamuk juga mampu bercerita detil. Untuk satu adegan pembunuhan, dia mampu bertutur sebanyak empat halaman, mulai dari sekarat sampai tewas; itu baru dari sisi tokoh yang dibunuh, belum cerita si pembunuhnya.


Novel ini juga bercerita tentang kehidupan para seniman masa itu, khususnya seni lukis, berikut intrik-intrik seniman istana, dan benturan peradaban yang menyertainya. Ada perdebatan soal apakah melukis makhluk hidup "seindah aslinya", termasuk manusia, bertentangan dengan hukum Allah atau tidak. Perdebatan itu membawa terpecahnya masyarakat menjadi tiga golongan: golongan puritan, yaitu yang menganggap bahwa seni itu harus mengabdi pada hukum Tuhan, karena itu tidak boleh tercampur dengan budaya asing (dalam hal ini budaya Eropa / non Muslim); golongan liberal, yang menganggap bahwa seni itu untuk kepuasan rohani manusia, sehingga bisa bersumber dari Barat dan Timur; dan golongan ditengah, yaitu masyarakat umum.


Tapi terus terang saja, saya cape baca novel ini. Mungkin karena gaya bertutur para tokohnya yang cenderung monolog. Sedikit sekali dialog. Detil-detil cerita secara rumit (bagi saya) ditaruh di narasi deskriptif para tokoh dalam memandang atau melakukan suatu peristiwa.

Saya juga tidak mampu mengerti kaitan antara judul novel dengan isi ceritanya. Maaf, barangkali novel ini bukan gue banget.


Jumat, 13 Juni 2008

Dangerous Silence

Ketika Nazi memburu kaum komunis, aku diam saja; karena aku bukan komunis.
Ketika mereka menangkap kelompok sosial demokrat, aku juga diam; aku bukan sosial demokrat.
Ketika mereka mengejar golongan serikat dagang, aku tidak protes; aku bukan anggota serikat.
Ketika mereka memburu orang Yahudi, aku tetap diam; aku bukan Yahudi.
Ketika mereka menangkapku, sudah tidak ada yang tersisa untuk melawan.

Puisi di atas berjudul "First They Came", karya Martin Niemöller (14 January 1892 – 6 March 1984); seorang teolog dan pastor Lutherian terkemuka Jerman yang anti Nazi. Walaupun pada mulanya ia adalah pendukung Nazi, sejak tahun 1934 ia mulai menentang Nazi. Ia ditangkap dan dipenjarakan di kamp konsentrasi di Sachsenhausen dan Dachau sejak tahun 1937. Dia berhasil selamat dan menjadi tokoh yang bersuara vokal mengenai rekonsiliasi Jerman setelah Perang Dunia II.

Puisi ini sering dikutip untuk menjelaskan bahaya dari suatu sikap "apatis politik". Situasi yang berbahaya ini biasanya bermula dari adanya ancaman kebencian dan ketakutan yang spesifik dan tertarget, yang kemudian berkembang menjadi tidak terkontrol.

Sekarang ini saya merasakan semacam "kegamangan" yang tidak rasional, yang membuat saya khawatir bahaya itu bisa terjadi di Indonesia. Ketika kebebasan beragama mulai dipasung berselimutkan penodaan atas agama. Ketika kaum minoritas dikejar-kejar mentang-mentang mereka kecil dan tidak melawan. Ketika negara mulai mencampuri keyakinan individu atas nama ketertiban umum. Dan ketika sekelompok kecil radikal mengatasnamakan kelompok mayoritas yang diam saja.

Mudah-mudahan kekhawatiran saya tidak beralasan. Namun puisi di atas mengingatkan untuk selalu kritis dan tidak apatis.

Senin, 21 April 2008

Kodrat Perempuan

Kodrat perempuan itu ada tiga: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Itu saja, tidak kurang, tidak lebih. Demikian dikatakan salah satu psikolog (?) dalam suatu acara pagi di stasiun I-Radio. Urusan lainnya yang selama ini di-"konotasi"-kan sebagai kodrat perempuan, seperti urusan dapur, cleaning services, dandan, mengasuh anak, dan lain-lain itu sebenarnya bukan kodrat perempuan. Untuk melakukan hal-hal yang terakhir itu, sumber daya yang dibutuhkan (yaitu tangan, kaki, kepala, syaraf otak, dll) juga dimiliki oleh laki-laki.

Saya setuju dengan pendapat itu. Urusan rumah, dapur, membesarkan anak, dan sebagainya yang selama ini menjadi "kodrat" perempuan sebenarnya hanya suatu "kontrak sosial" antara sekelompok lelaki dan sekelompok perempuan di dalam suatu masyarakat. Lebih khusus lagi, itu merupakan "kontrak perkawinan" antara suami dan istri dalam suatu rumah tangga. Jadi pembagian peran dan pekerjaan itu terbuka untuk ditinjau dan dibicarakan kembali oleh para pasangan suami istri. Tidak usah bawa-bawa kodrat untuk menghindari atau menginginkan suatu peran atau pekerjaan dalam kehidupan berumah tangga maupun bersosial masyarakat.

Jadi, sekali lagi: urusan menghamili itu kodrat laki-laki. Urusan dihamili itu kodrat perempuan. Demikian juga mengandung, melahirkan, dan menyusui, itu kodrat perempuan; laki-laki gak bakalan bisa deh.

Jumat, 29 Februari 2008

Busway: Mati Muda?

Ketika ada kabar bahwa jalur busway koridor Ragunan-Kuningan akan dijadikan jalur contra- flow dengan sistem buka tutup, saya langsung bilang: "Wah, selesai nih busway!"


Sistem contra-flow itu berarti pada jam-jam sibuk, bus Transjakarta akan menggunakan jalur busway yang berlawanan arah. Supaya tidak bertabrakan dengan bus dari arah sebaliknya akan diterapkan sistem buka-tutup. Lalu jalur busway yang seharusnya dipakai bus Transjakarta itu akan digunakan untuk jalur mobil biasa, supaya mengurangi kemacetan. Lho????


Bila sistem ini jadi dilaksanakan, maka para pengguna busway akan semakin berkurang kenyamanannya, kemudian pengguna makin berkurang, sehingga pengelola rugi terus, akhirnya program busway tutup. Padahal semula busway ditujukan untuk meningkatkan kualitas angkutan massal sehingga mampu mengurangi pemakaian mobil pribadi. Selain itu, sistem contra-flow seakan-akan "mengakui" bahwa penyebab kemacetan adalah busway, bukan mobil pribadi.


Program busway memang menghadapi sejumlah masalah, salah satu yang paling mencolok adalah waktu tunggu penumpang. Jarak antar bus masih di atas 20 menit, malah kadang-kadang 30 menit, padahal pada jam sibuk idealnya head ini berkisar 5 menit. Juga karena head masih di atas 20 menit itu menyebabkan jalur busway sering terlihat kosong. Hal ini semakin menggoda para pengguna mobil pribadi untuk menyerobot jalur. Karena diserobot, pada titik-titik tertentu bus Transjakarta juga ikut terkena macet sehingga malah memperlama waktu tempuh penumpang (sekaligus waktu tunggu di halte).


Lucunya, bukannya menambah bus sehingga mampu mempersingkat head, tapi malah memperkenalkan sistem contra-flow. Aneh. Barangkali kita memang terbiasa berpikir lawak ala logika Srimulat.

Selasa, 26 Februari 2008

Kecerdasan Musik


Menyaksikan pergelaran Orkestra Cikini untuk kesekian kalinya, perasaan ini selalu campur-aduk. Pertama, rasa bangga karena putri kami ikut jadi pemain biola di sana. Sudah sejak kelas 3 SD sampai kini kelas 1 SMP, mulai dari orkes pemula, sampai sekarang anggota inti-yunior. Kedua, rasa haru karena selalu teringat almarhum orangtua. Orangtua-lah, terutama ibu, yang mengenalkan saya kepada musik klasik. Mereka juga yang memasukkan saya mengikuti les gitar klasik mulai kelas 6 SD. Ketiga, rasa senang karena bisa menikmati pergelaran orkestra klasik secara "live", walaupun hanya kelas lokal. Keempat, rasa curious karena ingin tahu dan penasaran apakah pengenalan musik, khususnya musik klasik, kepada anak-anak secara dini, akan mampu ikut membentuk kepribadiannya.


Kami percaya bahwa ada banyak kecerdasan, salah satunya adalah kecerdasan yang berkait dengan keindahan, musik misalnya. Kita tahu, sekolah formal terlalu menitik beratkan pada kecerdasan lingual-matematis, jadi tugas kitalah, orangtua, untuk menemukan kecerdasan lainnya yang mungkin dimiliki oleh anak-anak kita. Karena kita juga orang biasa, yang kecerdasannya juga biasa-biasa saja, maka menemukan kecerdasan anak kita menjadi tugas yang tidak mudah. Salah satu cara untuk mulai mencarinya adalah dengan memberikan paparan berbagai aspek kecerdasan bagi anak kita. Olahraga, bahasa, ruang spasial, bersosialisasi, dan musik.


Titik evaluasi penting yang sering membuat kami bimbang adalah, apakah kami sudah melanggar batas "perkenalan" atau "paparan" bermusik, dan mulai memasuki area "pemaksaan". Ketika anak sudah mulai malas, jenuh, atau tidak maju-maju, saya dan istri sering berdiskusi apakah sudah saatnya menghentikan paparan dan mulai mencari kecerdasan lainnya; atau hal ini hanya bagian dari "kemalasan" anak sehingga pencarian seharusnya tetap diteruskan. Dan ini sama sekali tidak mudah. Dua anak kami perilakunya juga berbeda.


Kami pilih musik klasik karena menurut pendapat saya, belajar memainkan alat musik melalui musik klasik akan mengalami lebih banyak paparan seluk-beluk keindahan seni musik. Dengan mengatakan ini tidak berarti saya melecehkan jenis musik lainnya. Namun harus diakui bahwa variasi struktur dan komposisi musik klasik jauh lebih banyak daripada jenis musik lainnya. Pengaruhnya juga melewati batas musik klasik. Lagu-lagu progresive-rock karya supergrup 70-an seperti Yes dan Genesis misalnya, sangat kental diwarnai oleh struktur musik klasik yang agak njelimet.



Kalaupun kecerdasan anak-anak kami bukan di musik, kami harap paparan musik yang kami lakukan bagi mereka akan memberikan bekas yang positif, entah itu kepribadian, ketrampilan, pengetahuan, atau sekedar pendengar saja. Dalam kaitan ini, saya sangat bersyukur dulu dipaparkan musik oleh orangtua saya. Walaupun sekarang saya hanya menjadi pendengar saja (bahkan karaoke pun tidak) namun saya sangat menikmati perjalanan hidup yang ditemani oleh seni musik dari berbagai genre. Atas segala kebaikan yang saya peroleh ini, mudah-mudahan pahala terus mengalir bagi kedua orangtua saya.


Mengenai anak-anak kami sendiri, well...., kitalah yang harus membukakan pintu-pintu dunia bagi mereka. biarlah mereka menemukan jalannya sendiri kelak.

Rabu, 20 Februari 2008

Kudeta Mekkah


Buku ini mengungkapkan kejadian pembajakan Masjidil Haram selama hampir 2 pekan di bulan November 1979 oleh sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi. Secara tidak langsung buku ini juga mengungkapkan sisi buruk praktek negara-agama; kaum ulama memanfaatkan kekuasaan negara untuk kepentingan alirannya, dan negara (pemerintah) memanfaatkan kekuatan agama (ulama) untuk mempertahankan kekuasaannya. Sejenis kolusi antara ulama dan pemerintah.

Pada 20 November 1979 bertepatan dengan awal Muharam 1400 H, setelah salat subuh terdengar bunyi tembakan senapan di Masjidil Haram. Tidak lama kemudian melalui pengeras suara mesijd diumumkan bahwa Masjidil Haram sudah diambil alih dan Imam Mahdi telah tiba. Seketika itu juga di tujuh menara mesjid para pemberontak sudah menyiapkan senapan mesin untuk menjaga mesjid dari serbuan aparat keamanan Saudi Arabia. Para jemaah haji berhamburan keluar, namun menyisakan sejumlah jemaah haji yang terperangkap di dalam karena para pemberontak sudah keburu menutup pintu mesjid.

Siapakah Juhaiman? Mengapa ia dan kelompoknya melakukan aksi nekat seperti itu? Mengapa aparat keamanan Saudi membutuhkan waktu 2 pekan untuk melumpuhkan pemberontak dan menguasai keadaan?

Seorang kepala suku di Najd bernama Mohammad al Saud adalah pengikut awal Abdul Wahhab. Pada awal abad-19 koalisi Saud-Wahhab ini sempat menguasai sejumlah kota termasuk Mekkah dan Medinah dari tangan Turki Usmani, sebelum akhirnya dibasmi oleh tentara Mesir atas perintah imperium Usmani. Pada 1902, keturunan Saud kembali berhasil merebut Riyadh, dan koalisi Saud-Wahhabi berhasil menguasai jazirah Arab dan lahirlah apa yang disebut sekarang sebagai Saudi Arabia. Perpecahan awal Saud dan Wahhabi terjadi ketika kaum Wahhabi menyerang Irak dan Kuwait pada 1927 dalam rangka menentang Raja Saud. Inggris sebagai penguasa Irak dan Kuwait saat itu mengalahkan kaum Wahhabi dan mengusirnya dari Irak dan Kuwait. Kemudian kaum Wahhabi ini dikalahkan oleh pasukan Saud di wilayah Arab Saudi. Juhaiman adalah keturunan langsung dari kelompok yang kalah itu.

Pada awal 1970-an, para ulama Wahhabi dalam keadaan gusar menghadapi modernisasi yang dilancarkan oleh pemerintah Raja Faisal sejak 1960-an. Hal-hal yang ditentang oleh para ulama diantaranya adalah pendidikan bagi perempuan, pencabutan hukum perbudakan, TV dan radio, sepakbola, rokok, serta pertunjukan seni dan budaya. Ketidaksukaan ulama terhadap pemerintah diperburuk oleh perilaku keluarga kerajaan yang dianggap menyimpang dari tuntunan Islam, seperti minuman alkohol, berfoya-foya, dan sejenisnya.

Sebagai antisipasinya, para ulama kemudian mendirikan pusat dakwah untuk membendung nilai-nilai baru yang dianggap non-Islami dari luar. Karena kegiatan ini dibiayai oleh pemerintah dan para ulama itu digaji oleh pemerintah, sementara pemerintah itu identik dengan keluarga Saud, maka walaupun dakwah ulama itu selalu menentang hal-hal yang disebut di atas tadi, mereka tidak pernah mengkritik pemerintah.

Juhaiman bukan ulama yang digaji pemerintah, dan dia masih menyimpan dendam atas penghinaan kepada leluhurnya ketika dikalahkan oleh tentara Saud pada 1927. Maka akhirnya ia dan kelompoknya membajak Masjidil Haram pada November 1979.

Menghadapi pemberontakan Juhaiman, aparat keamanan Saudi terlihat keteteran. Karena kelemahan aparatnya, baik motivasi maupun ketrampilan profesionalnya, pemerintah Saudi memerlukan dukungan fatwa ulama untuk masuk ke Masjidil Haram membawa senjata dan berperang membasmi pemberontakan. Akhirnya para ulama membolehkan tentara Saudi berperang di Masjidil Haram dan membekuk para pemberontak, hidup atau mati. Tentunya tidak gratis. Pemerintah dituntut untuk membiayai program dakwah para ulama Wahhabi, tidak saja di Arab Saudi, tetapi di seluruh dunia. Sejumlah tuntutan Juhaiman, seperti pembatasan peran perempuan di publik dan penggantian beberapa pejabat publik, juga harus dipenuhi oleh pemerintah.

Walaupun sudah berbekal fatwa, tentara Saudi masih memerlukan waktu 1 minggu untuk menguasai kembali Masjidil Haram dan tambahan 1 minggu lagi untuk menangkap para pemberontak yang masih hidup yang bersembunyi di lantai bawah tanah Masjid. Ratusan tentara Saudi tewas sebagai korban dalam pertempuran ini. Itu pun setelah mendatangkan anggota pasukan khusus dari Perancis yang bertindak sebagai penasehat.

Penulis buku ini adalah Yaroslav Trofimov, koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Lahir di Kiev, Ukraina, besar di Madagaskar, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Ia banyak menulis tentang agama dan perubahan sosial di negara-negara Muslim. Buku terkenalnya adalah Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu.
Trofimov berhasil mendapatkan informasi yang selama ini tidak diungkap mengenai kejadian pembajakan Masjidil Haram itu terutama dari Arab Saudi, baik di pihak pemerintah maupun di pihak pemberontak. Dalam analisisnya, Trofimov berkeyakinan bahwa kontradiksi yang timbul dari hubungan Saud-Wahhabi, ditambah sejarah kekerasan koalisi itu, membuat akan selalu ada Juhaiman-Juhaiman lainnya. Trofimov menyebut Osama bin Laden adalah salah satu buah konflik rumit itu. Mungkin karena hanya berpikir kelanggengan kekuasaannya, dinasti Saud secara tidak sadar telah memelihara anak macan yang bisa menggigit majikannya ketika dewasa. Ekspansi besar-besaran ideologi Wahhabi yang didanai oleh pemerintah Saudi secara tidak langsung ditengarai telah berhasil mewujudkan pemerintahan Taliban di Afganistan (sebelum digusur Amerika pasca WTC).

Selasa, 05 Februari 2008

Mutu SMA





Jika berbicara mengenai mutu SMA, maka ada beberapa titik pandang dan rumusan. Pada umumnya orang akan berbicara mengenai prestasi akademik. Itupun berbeda-beda kriterianya. Ada yang mengukur nilai Ujian Nasional, ada yang menghitung berapa banyak lulusannya yang diterima di perguruan tinggi favorit (untuk Bandung, misalnya ITB dan Unpad), ada juga yang melihat dari passing grade, yaitu nilai yang harus dimiliki oleh lulusan SMP untuk dapat diterima di suatu SMA. Itu baru bicara mengenai ukuran prestasi akademik, belum soal ukuran mutu sekolah itu sendiri.


Prestasi Akademik

Saya berpendapat prestasi akademik sebuah SMA diukur dengan nilai Ujian Nasional / Daerah. Persoalan apakah ujian nasional menjadi kriteria kelulusan adalah soal lain. Suatu ujian nasional / daerah adalah satu-satunya tolok ukur yang bisa digunakan bersama untuk membandingkan sejumlah sekolah di suatu area tertentu. Setiap siswa SMA harus menempuh suatu ujian nasional / daerah, sementara tidak selalu lulusan SMA akan meneruskan ke perguruan tinggi favorit. Apalagi jaman sekarang pilihan hidup dan karir tidak melulu ditentukan oleh pilihan pendidikan tinggi. Passing grade tidak dapat dijadikan ukuran prestasi akademik suatu sekolah, karena passing grade hanyalah mencerminkan suatu image sekolah dan perbandingan permintaan-pasokan. Memang passing grade yang tinggi membuat sekolah itu memiliki modal siswa yang bagus (yang pada akhirnya bisa menghasilkan lulusan yang bagus juga), namun tidak bisa secara langsung menjadi ukuran atas capaian yang dihasilkan oleh proses belajar-mengajar di sekolah itu.


Lalu, nilai ujian nasional seperti apa yang dijadikan ukuran? Ada nilai tertinggi, ada nilai rata-rata, ada lebar pita nilai. Nilai tertinggi, selain suatu prestasi sekolah, juga tergantung dari prestasi individu siswa. Saya tidak terlalu tertarik menjadikan nilai tertinggi ini menjadi ukuran prestasi sekolah. Saya lebih cenderung untuk menggunakan nilai rata-rata dan lebar pita nilai. Nilai rata-rata menunjukkan prestasi seluruh siswa di sekolah itu. Makin tinggi nilai rata-rata tentunya makin bagus. Lebar pita nilai menunjukkan kisaran dari nilai tertinggi ke nilai terendah. Makin sempit kisaran ini makin kecil jarak antara nilai tertinggi dan terendah, berarti makin bagus. Kedua parameter ini merupakan hasil kerja keroyokan semua pihak: siswa, guru, manajemen sekolah, komite sekolah dan orang tua; sehingga lebih relevan untuk dijadikan sebagai ukuran prestasi akademik suatu sekolah.



Life Skill

Makin banyak orang berpendapat bahwa mutu sekolah tidak melulu hanya prestasi akademik. Ada sesuatu hal yang lain yang juga penting diperhatikan dan diukur. Sesuatu yang lain itu ada yang menyebutnya kreativitas (disampaikan dengan baik oleh Dewi Lestari pada Diskusi Panel Peningkatan Mutu SMAN 2 Bandung tanggal 3 Februari 2008). Ada juga yang mengatakan kemampuan untuk belajar (Ir. Yani Panigoro pada acara yang sama). Secara umum, barangkali bisa diwakili oleh dua kata yang disampaikan oleh DR. Ir. Rudi Rubiandini RS, juga pada acara yang sama: Life Skill.


Life skill secara umum bisa diartikan sebagai ketrampilan (yang dibutuhkan untuk bisa terus) hidup. Untuk bisa terus hidup setelah lulus SMA, baik menjadi mahasiswa, atau langsung terjun bekerja, ketrampilan apa yang akan selalu dibutuhkan? Salah satunya adalah ketrampilan untuk bisa belajar menghadapi sesuatu yang baru. Ini berarti yang diasah adalah ketrampilan mengelola motivasi, kepercayaan diri, keterbukaan, berpikir positif, etos kerja, dan kerjasama. Kreativitas juga suatu ketrampilan yang akan selalu dibutuhkan. Menumbuhkan dan mengasah kreativitas berarti membiasakan berpikir (dan bertindak) di luar kotak (out of box thinking), selalu mencari alternatif baru yang lebih baik, serta membiasakan bahwa selalu ada banyak jalan untuk mencapai suatu tujuan.


Elemen lain life skill adalah kejujuran dan displin. Kejujuran akan mengasah mata hati nurani kita, untuk bisa dengan tegas memilah mana yang benar (yang biasanya sukar untuk dilakukan), dan mana yang mudah (yang biasanya cenderung abu-abu atau tidak jelas benar-salahnya). Sementara disiplin melatih kemampuan kita untuk tetap fokus pada tujuan, menghargai dan peduli pada orang lain, serta melatih keteguhan.


Persoalannya adalah, bagaimana menyusun program life skill ini dalam kegiatan sekolah, serta menetapkan tolok ukurnya sehingga kita bisa dengan pasti dapat mengukur capaian dari tahun ke tahun. Saya tidak punya kompetensi untuk ini, tetapi saya punya keyakinan bahwa life skill tidak semata-mata kegiatan ekstra kurikuler. Di kelas akademik pun, life skill bisa diajarkan dan dilatih. Sebagai contoh, siswa dapat didorong untuk menemukan berbagai jalan untuk menjawab suatu soal mata pelajaran tertentu. Dalam hal ini, siswa dilatih kreativitasnya sekaligus melihat contoh hidup bagaimana sang guru mempunyai sikap berpikir terbuka atas alternatif baru.



Peran Alumni

Faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan agar mutu sekolah dapat selalu ditingkatkan adalah: manajemen sekolah, guru, siswa, orangtua, dan sarana-fasilitas. Alumni bukan faktor kunci dan juga bukan stake holder lagi (kecuali alumni yang menjadi guru, orangtua, kepala sekolah, atau anggota komite sekolah). Namun alumni, baik perseorangan maupun melalui ikatan alumni, bisa melakukan sesuatu untuk "memperlancar" roda kegiatan sekolah.


Kontribusi yang bisa dilakukan alumni diantaranya adalah pelatihan, baik untuk siswa maupun guru. Selain pelatihan, alumni juga bisa menyelenggarakan semacam "career day". Kegiatan ini bisa berupa gambaran jurusan di pendidikan lanjutan, ataupun wawasan profesi di masyarakat. Alumni juga bisa membantu mengadakan sarana dan fasilitas yang diperlukan sekolah. Tentunya hal ini tidak dilakukan oleh Ikatan Alumni sebagai organisasi, tetapi lebih tepat dilaksanakan oleh alumni perserorangan atau kelompok kecil tertentu.


Sifat kontribusinya bisa berbentuk full-grant, semi-commercial, atau full-commercial. Full-grant adalah hibah murni dari alumni kepada sekolah, baik jasa maupun barang. Hibah jasa misalnya kegiatan workshop fotografi, ketrampilan menulis, membuat film, dan lain-lain. Hibah barang bisa berbentuk pembangunan sarana laboratorium, ruangan kelas, dan sarana fisik lainnya. Kontribusi yang berbentuk semi-commercial bisa berupa jasa dan barang. Misalnya jasa pelatihan guru, bila instrukturnya adalah alumni dapat diberikan diskon yang cukup signifikan. Bila menyangkut pembangunan ruangan kelas, misalnya, sekolah membayar biaya material sementara alumni menanggung ongkos pengerjaannya. Sementara kontribusi yang bersifat full commercial bisa berbentuk adanya imbalan komersial atas dukungan alumni untuk acara-acara seperti bazaar, pentas / festival seni, pekan olahraga, dll. Kontribusi full commercial ini juga bisa dalam bentuk penyediaan fasilitas talangan dana untuk pengadaan sarana fisik, yang harus dicicil oleh sekolah dalam jangka waktu yang disepakati bersama.



Pada akhirnya, yang akan menerima manfaat terbesar dari usaha peningkatan mutu sekolah adalah siswa itu sendiri. Karena itu, semua usaha harus difokuskan pada kepentingan siswa itu sendiri.

Selasa, 29 Januari 2008

Presiden Soeharto

Presiden Soeharto wafat, 27 Januari 2008.



Tahun 1998, saya baru pulang berenang mengantar anak saya. TV di rumah sudah menyala dan sedang menayangkan Presiden Soeharto berpidato. Kemudian, "saya, dengan ini menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden Indonesia...". Saya merasa lega, karena saya pikir hal ini menjadi jalan keluar dari situasi hiruk-pikuk dan trauma kerusuhan seminggu sebelumnya. Saya langsung berangkat ke kompleks DPR bersama istri saya untuk merayakan kejadian ini bersama para mahasiswa di sana.



Tahun 1988, saya baru selesai menunaikan jabatan sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin ITB, dengan lega, karena tidak harus bentrok dengan aparat keamanan. Resiko bentrok ini selalu disandang aktivis kampus pada jaman itu, mengingat atmosfir yang sangat represif. Setahun sebelumnya, hanya gara-gara demo menentang helm, aparat keamanan menumpas demonstrasi mahasiswa di Makassar dengan jatuhnya korban jiwa. Setahun sesudahnya, 1989, demonstrasi menolak Rudini di kampus ITB telah menyebabkan sejumlah aktivis masuk penjara.



Tahun 1978, saya masih kelas 2 SMP. ITB diduduki tentara, karena mahasiswa menolak Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden pada Sidang Umum MPR. Karena ayah saya adalah agen suratkabar di Bandung, maka saya termasuk anak yang tahu pertama kali bahwa pada hari itu sejumlah suratkabar di Jakarta dan Bandung dibredel, tidak boleh terbit. Di sekolah, ternyata anak kelas 3 sudah menyiapkan mimbar bebas menampilkan orasi anti pemerintah dan Soeharto. Jam 09.00 panser tentara sudah nongkrong di depan sekolah dan kami bubar lari. Sejak saat itu sekolah di seluruh Bandung ditutup selama 2 bulan, libur. Akibatnya tahun ajaran molor sampai 6 bulan sehingga awal tahun ajaran bergeser dari semula Januari menjadi Juli.



Tahun 2008, ada kelegaan melihat cara media meliput Presiden Soeharto sejak sakit sampai wafat. Lega, karena bangsa kita (maksudnya: pemerintah) tidak mengulangi kesalahan memperlakukan Presiden Soekarno sedemikian buruk ketika sakit dan wafatnya. Walaupun agak berlebihan (tapi bukankah ini sudah menjadi ciri bangsa: dari ekstrim satu ke titik ekstrim lain), namun saya pikir memang demkianlah seharusnya kita memperlakukan presiden kita.

Apapun hasil karya Presiden Soeharto bagi bangsa ini setelah berkuasa 32 tahun, tampaknya tidak bersisa karena kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pembangunan ekonomi yang tumbuh sampai 7-9 % per tahun ternyata dibiayai oleh hutang yang tidak dikelola dengan baik. Krisis 1997-1998 menumbangkan ekonomi seperti rumah kertas. Stabilitas dan persatuan yang dibanggakan ternyata dibangun dengan tangan besi dan pembungkaman. Kekuasaaan yang terlalu lama di satu tangan telah menyebabkan tumbuhnya budaya ABS, feodal, menjilat, yang juga menyuburkan lahan untuk KKN. Atmosfir yang represif ditambah budaya feodal baru, pada akhirnya menumbuhkan manusia Indonesia tidak memiliki karakter yang dibutuhkan untuk tantangan abad baru: kreativitas, kejujuran, kerja keras.

Namun saya belum bisa menjawab pertanyaan: apakah Presiden Soeharto harus diadili untuk mempertanggungjawabkan jabatannya? Saya tidak ingin seorang presiden Indonesia harus diadili karena ternyata kebijakannya keliru dan oleh karena itu tidak lagi diterima oleh jaman baru. Namun, di sisi lain, kerusakan ekonomi yang ditimbulkan juga luar biasa hebat, terutama korupsi, baik dari segi budaya, maupun dari segi kerugian ekonomi. Jadi, saya sering berpikir, bila urusannya lebih kepada rasa keadilan, yang berujung pada uang hasil korupsi, maka justru sekarang lah saat yang tepat untuk menyita harta (yang dicurigai) hasil korupsi. Saya pikir republik ini sama sekali tidak berhutang budi kepada anak-anak Presiden Soeharto. Walaupun mungkin mereka pintar berbisnis, rasanya sulit ditolak akal sehat bahwa modal awal bisnis mereka adalah ada kemudahan karena ayah mereka adalah presiden. Dan kemudahan, pada jaman itu, sangat dekat dengan korupsi.

Jumat, 25 Januari 2008

Rambut Perempuan

Menurut pandangan Islam konvensional pada umumnya, rambut perempuan merupakan anggota tubuh yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. Argumen pada umumnya mengacu ke surat An Nuur (24) ayat 31 dan Hadis Nabi. Dua teks itu membawa kesimpulan yang umumnya dianut yaitu perempuan dewasa wajib berkerudung (khimar) menutupi rambutnya di depan umum.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bila kedua teks itu tidak dimaksudkan demikian? Tegasnya, bagaimana bila rambut perempuan itu boleh-boleh saja diperlihatkan di depan umum?


Surat An-Nuur 31

Ayat 24:31 ini menyebutkan bahwa perempuan haruslah (i) menjaga kehormatan dalam cara berpakaian, (ii) tidak memperlihatkan perhiasan kepada selain muhrimnya, anak-anak yang belum dewasa, dan laki-laki kasim; kecuali yang biasa terlihat, (iii) menutupi dadanya (dengan menggunakan kerudung).

Kata 'kehormatan" itu sebenarnya tafsiran dari kata asli yang tertulis, yaitu saw’atihima, yang artinya organ genital. Bila melihat kata aslinya, jelas bagian mana yang disebut dengan organ genital, rambut tidak termasuk kedalamnya. Sementara kata kehormatan memang lebih luas maknanya, mencakup aspek perilaku dan kepribadian.

Pengertian perhiasan memang luas dan Al Qur'an tidak secara spesifik menunjuk kepada satu hal mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan. Bisa berarti perhiasan dalam arti gelang, cincin, kalung, anting, dan sebagainya. Bisa juga dandanan / riasan perempuan (termasuk asesoris tadi). Bisa juga termasuk bagian tubuh tertentu (dalam hal ini ada yang menafsirkan termasuk juga rambut). Namun bila yang dimaksud adalah bagian tubuh tertentu, ayat ini secara spesifik sudah menetapkan organ genital dan bagian dada. Apabila rambut atau bagian tubuh lainnya juga harus ditutup, mengapa tidak disebutkan secara spesifik? Sementara, organ genital dan dada disebutkan secara tegas. Frase “kecuali yang biasa terlihat” seakan menegaskan bahwa selain organ genital dan sekitar dada, maka pengertian bagian tubuh dan perhiasan dapat diserahkan kepada kebiasaan lokal.

Frase "hendaknya meraka menutupkan kain kudungnya ke dadanya" jelas sekali adalah perintah menutupi dada; bukan menutupi rambut, ataupun menggunakan kerudung. Mengapa harus menggunakan kerudung untuk menutupi dada? Menurut Muhammad Said al-Asymawi (seorang juris, pakar perbandingan hukum Islam dan hukum konvensional, mantan Kepala Pengadilan Tiinggi Kairo, Mesir), pada jaman Nabi dahulu, perempuan Arab sudah memakai kerudung namun pemakaiannya menjuntai ke belakang, sementara dadanya dibiarkan terbuka (Muhammad Said al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab, 2003). Jadi, daripada kerudung itu menjuntai ke belakang, lebih baik sampirkan ke depan untuk menutupi dada.



Konsep Aurat

El Guindi mengartikan aurat sebagai "kerentanan terhadap gangguan". Beberapa konteks yang lahir adalah organ genital perempuan, rumah, privasi rumah tangga, privasi perempuan. Kata aurat yang berkonotasi organ genital perempuan terdapat di surat An Nuur ayat 31 tadi: "...atau anak-anak di bawah umur yang belum mengerti aurat perempuan". Sementara pada surat An Nuur ayat 58 bermakna konsep dan ruang privasi perempuan ("Hai orang -orang yang beriman, hendaklah para kasim dan anak laki-laki di bawah umur tidak memasuki ruang pribadimu dalam tiga waktu,............itulah tiga aurat bagi kamu............"). Makna aurat ketiga yang digunakan oleh Al Quran adalah dalam surat Al Ahzab ayat 13 yang bermakna perlindungan, keselamatan, keamanan yang berkaitan dengan rumah. ("....satu kelompok diantara mereka meminta ijin kepada Nabi untuk pergi dengan mengatakan "rumah kami benar-benar aurat", rumah mereka tidaklah aurat, keinginan mereka sebenarnya adalah lari dari perang..."). (Fadwa el Guindi, Jilbab, 2003).


Kritik hadis

HR Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma putri Abu Bakar suatu hari berkunjung ke rumah Nabi, lantas Nabi bersabda menegurnya: "Wahai Asma! Bila seorang gadis telah haid, tidak boleh (lam yasluh) terlihat bagian organ tubuhnya kecuali bagian ini (Nabi menunjuk muka dan kedua telapak tangannya)."

Hadis lainnya, Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah bersabda: "Tidak halal (la yahill) bagi seorang perempuan yang telah baligh, sementara dia beriman kepada Allah dan hari akhir, terlihat bagian organ tubuhnya, kecuali muka dan kedua tangannya, sampai batas ini (Nabi menggenggam setengah lengannya)."

Menurut Asymawi, kedua hadis itu tidak dapat dijadikan dasar hukum yang mengikat publik untuk menutup rambut / kepala karena:


1. Kedua hadis itu bersifat ahad, bukan mutawatir.

2. Kedua hadis itu walaupun berasal dari satu sumber (Aisyah), tetapi isinya kontradiksi: yang satu menggunakan kata tidak halal (la yahill), yang lain menggunakan kata tidak boleh (lam yasluh). Makna "halal-haram" sangat berbeda dengan "boleh-tidak boleh". Kemudian, yang satu membatasi sampai kedua pergelangan tangan, yang lain sampai setengah lengan.

3. Hadis itu hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, tidak oleh periwayat lainnya seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Hanbal, Sunanun Nasa'i, atau Suna Ibnu Majah

4. Hadis ini mursal karena ada satu mata rantai perawi yang putus. Khalid bin Darik yang meriwayatkan dari Aisyah ternyata tidak pernah bertemu dengan Aisyah karena hidup tidak sezaman dengan Aisyah.

Sementara ada hadis lain yang mengisyaratkan bahwa rambut / kepala perempuan tidak ditutup kecuali ketika sedang shalat. HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hanbal: "Tidak diterima salat seorang perempuan yang telah haid (baligh) kecuali bila dilakukan dengan menggunakan kerudung". Hadis ini secara implisit mengakui bahwa sehari-hari kepala perempuan tidak ditutupi kerudung, kecuali jika sedang shalat. (Kritik Atas Jilbab, 2003).



Tanpa menafikkan bahwa ada kemungkinan memang Nabi telah bersabda seperti tersebut di atas, fakta bahwa Nabi tidak mengumumkan secara luas mengenai aturan berpakaian menunjukkan bahwa Nabi memang tidak ingin mengatur. Bila Nabi berketetapan untuk menerapkan aturan berpakaian seperti dalam hadis di atas sebagai "aturan publik" yang mengikat, mengapa beliau tidak mengumumkannya, seperti ketika beliau mencontohkan shalat?

Opini

Berbeda dengan pandangan pada umumnya, saya pribadi berpendapat bahwa rambut perempuan tidak harus ditutup. Lebih jauh lagi, pakaian bukanlah suatu syariah atau kewajiban agama; itu lebih kepada etika, kepantasan, dan cita rasa yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Pedoman umum agama dalam hal berpakaian adalah untuk menjaga kesopanan dan kehormatan.

Pakaian dapat digunakan untuk menunjukkan identitas, misalnya perempuan Muslim dapat menggunakan kerudung untuk menunjukkan kemuslimannya. Namun ini tidak berarti kerudung dapat digunakan sebagai "indikator" keimanan atau kesalehan seseorang. Seseorang yang sudah memakai kerudung misalnya, dia semestinya dapat saja secara bebas melepas dan menggunakannya kembali, tanpa harus ketakutan dinilai "kurang beriman" atau level keimanannya "turun".

Kerudung, sebagaimana pakaian umumnya, adalah pilihan bebas setiap orang, sepanjang dengan berpakaian itu kesopanan dan kehormatannya terjaga. Karena itu, tidak seorang pun atau pihak manapun yang dapat memaksakan apakah seseorang itu harus memakai atau tidak boleh memakai kerudung.

Wallahualam bisawab.

Jumat, 11 Januari 2008

Banjir dan Bunuh Diri

Di sekolah kita belajar daur air. Panas matahari menguapkan air yang ada di lautan, sungai, danau di bumi, yang kemudian uap air itu berkumpul menjadi awan. Semakin lama awan semakin jenuh maka kumpulan uap air itu jatuh lagi ke bumi sebagai air hujan. Air hujan yang jatuh ke bumi ada yang masuk menjadi air tanah, ada yang mengalir menjadi air permukaan. Air permukaan ini masuk ke danau, sungai, lalu ke laut. Panas matahari menguapkan air kembali menjadi awan, dan seterusnya.

Banjir yang sering terjadi, termasuk banjir Bengawan Solo sejak Desember 2007 lalu, merupakan air permukaan yang tidak mampu ditampung oleh saluran yang ada (sungai, danau, rawa, dll). Jadi, mengurangi kemungkinan banjir bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas saluran dan mengurangi air permukaan. Meningkatkan kapasitas saluran bisa dengan melebarkan sungai, membuat sejumlah tempat limpasan air di sepanjang DAS, membuat danau buatan, waduk, sampai dengan bendungan raksasa.

Mengurangi air permukaan juga banyak caranya; diantaranya memelihara hutan, membuat terasering di perbukitan / pegunungan yang kemiringannya ke arah bukit / gunung itu sendiri (bukan ke arah sungai / lembah), memelihara tanah agar mampu menyerap air lebih banyak, membuat sumur resapan di lingkungan permukiman / perkotaan.

Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan? Ternyata kebalikan dari resep mengurangi banjir. Kita malah mengurangi kapasitas saluran dan menambah air permukaan. Danau dan rawa diurug, bantaran sungai dirampas jadi permukiman, hutan ditebang, tanah disulap jadi beton dan aspal tanpa sumur resapan, endapan sungai dibiarkan menumpuk di bendungan (sehingga kapasitas menampung airnya berkurang).

Coba kita perhatikan di rumah kita sendiri. Katakan luas tanah 200 m2, luas bangunan horisontalnya 120 m2, jadi sisa tanah terbuka 80 m2. Perhatikan, kemana air hujan mengalir setelah jatuh dari atap rumah kita? Ke selokan. Kemana air di halaman kita mengalir setelah tanahnya tidak mampu lagi menyerap hujan? Ke selokan. Kemana aliran air selokan rumah kita? Ke sungai! Kalikan jumlah air yang mengalir ke sungai itu dengan jutaan rumah yang "konstruksi-air"-nya serupa dengan rumah kita. Itu baru rumah, belum jalan, mal, pabrik, gedung perkantoran, dll. Di sisi lain, kapasitas sungai makin lama makin berkurang. Kalau sudah begini, banjir sudah menjadi suatu kepastian.

Jadi, banjir itu bukan bencana alam, bukan hukuman Tuhan. Itu bunuh diri manusia secara bersama-sama dan perlahan-lahan.