Sabtu, 27 Oktober 2007

Tawaf

Shalat subuh baru saja selesai, matahari belum terbit, lampu masjid masih menyala dengan terang.

Dari segala penjuru masjid, yang berpintu lebih dari 20 buah itu, orang-orang berdatangan seperti air bah yang tidak habis-habis. Mereka langsung masuk putaran mengelilingi Ka’bah berlawanan arah dengan putaran jarum jam. Pada garis awal putaran, yaitu garis sudut Ka’bah tempat Hajar Aswad terletak, kerumunan orang memadat karena mereka melambatkan langkah untuk melafalkan doa. Kepadatan lebih parah di sekitar titik Hajar Aswad, karena jemaah berusaha menciumnya seperti yang dicontohkan Nabi, berharap keberkahan Allah. Saking padatnya, sejumlah jemaah berusaha menempel di dinding Kabah dan mencoba merayap, bak spiderman – kata seseorang, menuju titik Hajar Aswad. Suatu usaha yang sia-sia, karena penjaga batu hitam tersebut akan dengan tegas mengusir mereka.

Putaran para jemaah mengelilingi Ka’bah itu laksana peredaran planet mengelilingi matahari ketika kusaksikan sambil bersandar di pagar Masjidil Haram di tingkat atap. Berputar terus menerus tanpa henti. Selalu ada rombongan baru yang memasuki putaran tawaf jika ada rombongan lain yang selesai berputar.

Perputaran planet itu ternyata bukan hanya gerakan fisik, tetapi emosi. Orang yang bertawaf di atap ini tidak sedikit yang tiba-tiba saja mengucurkan air mata, tersengguk-sengguk, bahkan seperti kesurupan menangis sambil meneriakkan “Allah” berulang-ulang.

Seorang jemaah yang tiba-tiba saja kusadari kehadirannya di sebelahku, bercerita kepadaku dengan mata sembap. “Saat saya tengah berdoa, sambil mengamati putaran tawaf, tiba-tiba saja terlintas di depan mata saya, laksana film bioskop, semua kebaikan yang telah saya peroleh dari kehidupan”, katanya dengan terbata.

“Saya melihat ayah saya bekerja keras sepanjang hidupnya tanpa mengenal pensiun, supaya kami bisa hidup layak dan bisa mendapatkan pendidikan tinggi terbaik, yang beliau sendiri tidak pernah mengecapnya.”

“Saya menyaksikan ibu saya yang tidak lelah mendukung dan mencintai suaminya dalam susah dan senang.”

“Secara cepat melintas pula saudara-saudara saya, yang tanpa banyak berkata, dengan ikhlas mengulurkan tangan bila saya dalam kesulitan.”

“Lalu….wajah anak-anak saya seakan ikut bergelombang mengikuti putaran tawaf. Anak-anak yang lucu dan ‘nakal’,” katanya dengan mata berkaca. “Saya makin tak tahan ketika muncul film tentang istri saya. Betapa saya merasa sangat beruntung memiliki istri seperti dia. Seorang sahabat hidup yang mencintai saya, mengasihi saya dengan ikhlas, menerima kekurangan saya sebagai manusia, dan mengisi hidup saya bersama anak-anak dengan gelak tawa.”

Lalu dia melanjutkan bahwa ketika matahari makin tinggi dan semakin memperjelas sosok Ka’bah bagi ribuan umat yang sedang bertawaf, semakin sadarlah ia bahwa seluruh kebaikan hidup ini berasal dari Pencipta Kehidupan. Kesadaran ini semakin menambah deras air matanya.

Aku menyadari bahwa dia tidak sedang berbicara denganku, ketika kudapati air matanya meleleh, dan dia berulang-ulang berucap: “Ya Allah, ampuni aku. Maha Suci Engkau, segala puji bagiMu ya Allah,tiada tuhan selain Engkau ya Allah, Engkau Maha Besar”.


Tanpa menghiraukan lagi kehadiranku, dia berlalu sambil berdoa, berbaur dalam barisan orang yang bertawaf.

Aku termangu. Tanpa dapat kucegah, mataku basah.

Maha Suci Allah.