Rabu, 12 Desember 2007

Minyak Tanah

Dalam suatu rapat RW di tempat tinggal saya, ada obrolan mengenai pelaksanaan konversi minyak tanah ke LPG. Pengurus RW mendapat tugas dari Kelurahan untuk membagikan formulir survey dari Pertamina mengenai kelayakan penerima kompor dan tabung gas gratis. Menurut info, RW kami akan mendapat jatah untuk membagikan sekitar 500 tabung LPG dan kompor gas gratis.

Sekilas perkembangan ini membesarkan hati, karena berarti program konversi minyak tanah ke LPG sudah mulai berjalan sampai ke tingkat RW. Namun mengapa RW kami yang notabene merupakan kompleks perumahan yang mayoritas bukan pengguna minyak tanah tetap mendapatkan jatah tabung dan kompor gas gratis? Bukankah kalau dibagikan kepada bukan pengguna minyak tanah maka tujuan program ini menjadi tidak tercapai? Ketika hal ini ditanyakan kepada petugas kelurahan, jawabnya adalah program ini adalah program pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menyukseskannya (dalam arti menyalurkannya).

Ternyata memang sudah terjadi pembagian yang tidak tepat sasaran. Saudara tetangga saya yang bermukim di Jakarta Pusat sudah menerima tabung dan kompor gas gratis. Salah satu keluarga besar saya di Bandung juga sudah menerimanya. Padahal mereka bukan pengguna minyak tanah, melainkan sudah menjadi pelanggan LPG sejak dulu.

Rencana pembagian kompor dan tabung gas gratis ini juga sudah menimbulkan "konflik" rumah tangga dan warga. Sebagian para kepala rumah tangga di RW saya berketetapan untuk tidak menerima tabung dan kompor gas ini. Namun ternyata sebagian dari mereka malah bertengkar dengan istri di rumah, yang berpendapat jangan menolak barang gratis. Ada satu RT yang sengaja tidak membagikan formulir survey itu, tapi kemudian diprotes oleh sejumlah ibu-ibu RT. Di RT yang lain, formulir dibagikan kepada para suami dan diisi sedemikian sehingga tidak akan lulus verifikasi Pertamina, tanpa setahu para ibu supaya tidak terjadi protes.

Kejadian ini sekali lagi merupakan cermin dari aparat pemerintahan yang malas berpikir dan berusaha. Bagi mereka tugas ini hanyalah angka: berapa banyak jumlah tabung dan kompor gas yang sudah disalurkan. Mereka tidak mau tahu apakah penyaluran ini sudah tepat sasaran dengan tujuan program ini; yaitu penghematan konsumsi minyak tanah yang berarti penghematan subsidi APBN. Lebih parah lagi bila kejadian ini dimanfaatkan oleh tangan-tangan serakah untuk mendapatkan keuntungan kelompok / pribadi.

Mungkin seharusnya pemerintah daerah dilibatkan lebih dalam lagi dalam pelaksanaan program semacam ini, termasuk insentif anggarannya. Tolok ukur keberhasilan tentunya tidak hanya dilihat dari berapa banyak tabung dan kompor gas yang sudah disalurkan, tetapi berapa banyak pengurangan konsumsi minyak tanah di daerah masing-masing. Apabila pemda
berhasil menunjukkan adanya pengurangan konsumsi minyak tanah secara signifikan, sudah selayaknya pemda mendapatkan bagian dari subsidi BBM yang berhasil dihemat. Anggaran tambahan ini tentunya hanya boleh digunakan terutama bagi wilayah-wilayah yang menjadi sasaran konversi minyak tanah; baik yang langsung terkait dengan BBM seperti pembangunan jaringan distribusi LPG, ataupun untuk pembangunan wilayah seperti dana pendidikan, kesehatan, lingkungan, penataan wilayah kumuh. Dengan demikian tentunya pemda akan mau berpikir dan berusaha keras mensukseskan program konversi energi ini.

Selasa, 11 Desember 2007

Teman

Pagi ini di salah satu stasiun radio di Jakarta, ada "tes" yang menarik. Para penyiar acara ini, ada 2 orang, meminta kepada para pendengarnya untuk mengirimkan sms permintaan bantuan. Isi smsnya: "Tolong pinjami aku uang 7,5 juta rupiah. Sedang kepepet nih". Tujuan tes ini hanya ingin sekedar mencari tahu, bagaimana reaksi orang pada umumnya bila menerima sms semacam itu dari kenalannya. Hasilnya?

Ternyata masih banyak orang yang bisa diandalkan sebagai teman pada saat dibutuhkan. That is what friends are for, begitu katanya. Seseorang menelepon ke radio itu melaporkan hasilnya sambil menangis terharu. Dia mengirim sms itu kepada temannya di luar kota yang sudah 5 tahun tidak bertemu. Temannya itu tanpa banyak cing-cong langsung menanyakan rekening bank dan akan mengirim dana yang dibutuhkan segera. Si pendengar menangis karena dia tahu uang sebesar itu bukanlah jumlah yang gampang dikeluarkan oleh temannya itu, namun tetap saja temannya itu langsung bersedia membantu.

Pendengar yang lain bercerita bahwa temannya membalas dengan keakraban khas: "Setan lu pagi-pagi udah minta duit. Entar ya gua transfer, sekarang lagi di jalan. Ayo ngobrol dong, ada apa sih?" Pendengar lainnya mengatakan bahwa temannya akan berkunjung ke rumahnya membawa uang yang dibutuhkan. Yang lainnya lagi melaporkan bahwa dalam 10 menit saldo rekening banknya telah bertambah sebanyak 7,5 juta rupiah.

Tentu saja tidak semuanya membesarkan hati. Ada yang hanya diberi 750 ribu rupiah. Ada yang bilang dananya baru habis untuk suatu keperluan lain, ada yang handphonenya malah tidak bisa dihubungi.

Aku ikut merenung. Bagaimana sikapku bila aku menerima sms seperti itu? Rasanya sulit bagiku memberikan begitu saja uang sejumlah itu tanpa pusing memikirkan bagaimana pengembaliannya. Barangkali aku memang pelit. Atau pengalamanku akhirnya mengajarkanku untuk bersikap penuh reserve. Atau mungkin aku memang tidak punya teman yang akan memintaku untuk menolongnya.

Kemungkinan terakhir itu malah menghajar kesadaranku. Jika aku pada posisi yang membutuhkan, kepada siapakah kira-kira aku dapat mengirimkan sms itu? Walaupun aku berpikir keras dan lama, aku tidak menemukan di otakku nama temanku yang kupikir bisa aku kirimi sms semacam itu.

Berbahagialah mereka yang memiliki teman-teman yang siap setiap saat. Rasanya aku harus instrospeksi dan merenung ulang tentang bagaimana menjadi teman.