Jumat, 29 Februari 2008

Busway: Mati Muda?

Ketika ada kabar bahwa jalur busway koridor Ragunan-Kuningan akan dijadikan jalur contra- flow dengan sistem buka tutup, saya langsung bilang: "Wah, selesai nih busway!"


Sistem contra-flow itu berarti pada jam-jam sibuk, bus Transjakarta akan menggunakan jalur busway yang berlawanan arah. Supaya tidak bertabrakan dengan bus dari arah sebaliknya akan diterapkan sistem buka-tutup. Lalu jalur busway yang seharusnya dipakai bus Transjakarta itu akan digunakan untuk jalur mobil biasa, supaya mengurangi kemacetan. Lho????


Bila sistem ini jadi dilaksanakan, maka para pengguna busway akan semakin berkurang kenyamanannya, kemudian pengguna makin berkurang, sehingga pengelola rugi terus, akhirnya program busway tutup. Padahal semula busway ditujukan untuk meningkatkan kualitas angkutan massal sehingga mampu mengurangi pemakaian mobil pribadi. Selain itu, sistem contra-flow seakan-akan "mengakui" bahwa penyebab kemacetan adalah busway, bukan mobil pribadi.


Program busway memang menghadapi sejumlah masalah, salah satu yang paling mencolok adalah waktu tunggu penumpang. Jarak antar bus masih di atas 20 menit, malah kadang-kadang 30 menit, padahal pada jam sibuk idealnya head ini berkisar 5 menit. Juga karena head masih di atas 20 menit itu menyebabkan jalur busway sering terlihat kosong. Hal ini semakin menggoda para pengguna mobil pribadi untuk menyerobot jalur. Karena diserobot, pada titik-titik tertentu bus Transjakarta juga ikut terkena macet sehingga malah memperlama waktu tempuh penumpang (sekaligus waktu tunggu di halte).


Lucunya, bukannya menambah bus sehingga mampu mempersingkat head, tapi malah memperkenalkan sistem contra-flow. Aneh. Barangkali kita memang terbiasa berpikir lawak ala logika Srimulat.

Selasa, 26 Februari 2008

Kecerdasan Musik


Menyaksikan pergelaran Orkestra Cikini untuk kesekian kalinya, perasaan ini selalu campur-aduk. Pertama, rasa bangga karena putri kami ikut jadi pemain biola di sana. Sudah sejak kelas 3 SD sampai kini kelas 1 SMP, mulai dari orkes pemula, sampai sekarang anggota inti-yunior. Kedua, rasa haru karena selalu teringat almarhum orangtua. Orangtua-lah, terutama ibu, yang mengenalkan saya kepada musik klasik. Mereka juga yang memasukkan saya mengikuti les gitar klasik mulai kelas 6 SD. Ketiga, rasa senang karena bisa menikmati pergelaran orkestra klasik secara "live", walaupun hanya kelas lokal. Keempat, rasa curious karena ingin tahu dan penasaran apakah pengenalan musik, khususnya musik klasik, kepada anak-anak secara dini, akan mampu ikut membentuk kepribadiannya.


Kami percaya bahwa ada banyak kecerdasan, salah satunya adalah kecerdasan yang berkait dengan keindahan, musik misalnya. Kita tahu, sekolah formal terlalu menitik beratkan pada kecerdasan lingual-matematis, jadi tugas kitalah, orangtua, untuk menemukan kecerdasan lainnya yang mungkin dimiliki oleh anak-anak kita. Karena kita juga orang biasa, yang kecerdasannya juga biasa-biasa saja, maka menemukan kecerdasan anak kita menjadi tugas yang tidak mudah. Salah satu cara untuk mulai mencarinya adalah dengan memberikan paparan berbagai aspek kecerdasan bagi anak kita. Olahraga, bahasa, ruang spasial, bersosialisasi, dan musik.


Titik evaluasi penting yang sering membuat kami bimbang adalah, apakah kami sudah melanggar batas "perkenalan" atau "paparan" bermusik, dan mulai memasuki area "pemaksaan". Ketika anak sudah mulai malas, jenuh, atau tidak maju-maju, saya dan istri sering berdiskusi apakah sudah saatnya menghentikan paparan dan mulai mencari kecerdasan lainnya; atau hal ini hanya bagian dari "kemalasan" anak sehingga pencarian seharusnya tetap diteruskan. Dan ini sama sekali tidak mudah. Dua anak kami perilakunya juga berbeda.


Kami pilih musik klasik karena menurut pendapat saya, belajar memainkan alat musik melalui musik klasik akan mengalami lebih banyak paparan seluk-beluk keindahan seni musik. Dengan mengatakan ini tidak berarti saya melecehkan jenis musik lainnya. Namun harus diakui bahwa variasi struktur dan komposisi musik klasik jauh lebih banyak daripada jenis musik lainnya. Pengaruhnya juga melewati batas musik klasik. Lagu-lagu progresive-rock karya supergrup 70-an seperti Yes dan Genesis misalnya, sangat kental diwarnai oleh struktur musik klasik yang agak njelimet.



Kalaupun kecerdasan anak-anak kami bukan di musik, kami harap paparan musik yang kami lakukan bagi mereka akan memberikan bekas yang positif, entah itu kepribadian, ketrampilan, pengetahuan, atau sekedar pendengar saja. Dalam kaitan ini, saya sangat bersyukur dulu dipaparkan musik oleh orangtua saya. Walaupun sekarang saya hanya menjadi pendengar saja (bahkan karaoke pun tidak) namun saya sangat menikmati perjalanan hidup yang ditemani oleh seni musik dari berbagai genre. Atas segala kebaikan yang saya peroleh ini, mudah-mudahan pahala terus mengalir bagi kedua orangtua saya.


Mengenai anak-anak kami sendiri, well...., kitalah yang harus membukakan pintu-pintu dunia bagi mereka. biarlah mereka menemukan jalannya sendiri kelak.

Rabu, 20 Februari 2008

Kudeta Mekkah


Buku ini mengungkapkan kejadian pembajakan Masjidil Haram selama hampir 2 pekan di bulan November 1979 oleh sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi. Secara tidak langsung buku ini juga mengungkapkan sisi buruk praktek negara-agama; kaum ulama memanfaatkan kekuasaan negara untuk kepentingan alirannya, dan negara (pemerintah) memanfaatkan kekuatan agama (ulama) untuk mempertahankan kekuasaannya. Sejenis kolusi antara ulama dan pemerintah.

Pada 20 November 1979 bertepatan dengan awal Muharam 1400 H, setelah salat subuh terdengar bunyi tembakan senapan di Masjidil Haram. Tidak lama kemudian melalui pengeras suara mesijd diumumkan bahwa Masjidil Haram sudah diambil alih dan Imam Mahdi telah tiba. Seketika itu juga di tujuh menara mesjid para pemberontak sudah menyiapkan senapan mesin untuk menjaga mesjid dari serbuan aparat keamanan Saudi Arabia. Para jemaah haji berhamburan keluar, namun menyisakan sejumlah jemaah haji yang terperangkap di dalam karena para pemberontak sudah keburu menutup pintu mesjid.

Siapakah Juhaiman? Mengapa ia dan kelompoknya melakukan aksi nekat seperti itu? Mengapa aparat keamanan Saudi membutuhkan waktu 2 pekan untuk melumpuhkan pemberontak dan menguasai keadaan?

Seorang kepala suku di Najd bernama Mohammad al Saud adalah pengikut awal Abdul Wahhab. Pada awal abad-19 koalisi Saud-Wahhab ini sempat menguasai sejumlah kota termasuk Mekkah dan Medinah dari tangan Turki Usmani, sebelum akhirnya dibasmi oleh tentara Mesir atas perintah imperium Usmani. Pada 1902, keturunan Saud kembali berhasil merebut Riyadh, dan koalisi Saud-Wahhabi berhasil menguasai jazirah Arab dan lahirlah apa yang disebut sekarang sebagai Saudi Arabia. Perpecahan awal Saud dan Wahhabi terjadi ketika kaum Wahhabi menyerang Irak dan Kuwait pada 1927 dalam rangka menentang Raja Saud. Inggris sebagai penguasa Irak dan Kuwait saat itu mengalahkan kaum Wahhabi dan mengusirnya dari Irak dan Kuwait. Kemudian kaum Wahhabi ini dikalahkan oleh pasukan Saud di wilayah Arab Saudi. Juhaiman adalah keturunan langsung dari kelompok yang kalah itu.

Pada awal 1970-an, para ulama Wahhabi dalam keadaan gusar menghadapi modernisasi yang dilancarkan oleh pemerintah Raja Faisal sejak 1960-an. Hal-hal yang ditentang oleh para ulama diantaranya adalah pendidikan bagi perempuan, pencabutan hukum perbudakan, TV dan radio, sepakbola, rokok, serta pertunjukan seni dan budaya. Ketidaksukaan ulama terhadap pemerintah diperburuk oleh perilaku keluarga kerajaan yang dianggap menyimpang dari tuntunan Islam, seperti minuman alkohol, berfoya-foya, dan sejenisnya.

Sebagai antisipasinya, para ulama kemudian mendirikan pusat dakwah untuk membendung nilai-nilai baru yang dianggap non-Islami dari luar. Karena kegiatan ini dibiayai oleh pemerintah dan para ulama itu digaji oleh pemerintah, sementara pemerintah itu identik dengan keluarga Saud, maka walaupun dakwah ulama itu selalu menentang hal-hal yang disebut di atas tadi, mereka tidak pernah mengkritik pemerintah.

Juhaiman bukan ulama yang digaji pemerintah, dan dia masih menyimpan dendam atas penghinaan kepada leluhurnya ketika dikalahkan oleh tentara Saud pada 1927. Maka akhirnya ia dan kelompoknya membajak Masjidil Haram pada November 1979.

Menghadapi pemberontakan Juhaiman, aparat keamanan Saudi terlihat keteteran. Karena kelemahan aparatnya, baik motivasi maupun ketrampilan profesionalnya, pemerintah Saudi memerlukan dukungan fatwa ulama untuk masuk ke Masjidil Haram membawa senjata dan berperang membasmi pemberontakan. Akhirnya para ulama membolehkan tentara Saudi berperang di Masjidil Haram dan membekuk para pemberontak, hidup atau mati. Tentunya tidak gratis. Pemerintah dituntut untuk membiayai program dakwah para ulama Wahhabi, tidak saja di Arab Saudi, tetapi di seluruh dunia. Sejumlah tuntutan Juhaiman, seperti pembatasan peran perempuan di publik dan penggantian beberapa pejabat publik, juga harus dipenuhi oleh pemerintah.

Walaupun sudah berbekal fatwa, tentara Saudi masih memerlukan waktu 1 minggu untuk menguasai kembali Masjidil Haram dan tambahan 1 minggu lagi untuk menangkap para pemberontak yang masih hidup yang bersembunyi di lantai bawah tanah Masjid. Ratusan tentara Saudi tewas sebagai korban dalam pertempuran ini. Itu pun setelah mendatangkan anggota pasukan khusus dari Perancis yang bertindak sebagai penasehat.

Penulis buku ini adalah Yaroslav Trofimov, koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Lahir di Kiev, Ukraina, besar di Madagaskar, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Ia banyak menulis tentang agama dan perubahan sosial di negara-negara Muslim. Buku terkenalnya adalah Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu.
Trofimov berhasil mendapatkan informasi yang selama ini tidak diungkap mengenai kejadian pembajakan Masjidil Haram itu terutama dari Arab Saudi, baik di pihak pemerintah maupun di pihak pemberontak. Dalam analisisnya, Trofimov berkeyakinan bahwa kontradiksi yang timbul dari hubungan Saud-Wahhabi, ditambah sejarah kekerasan koalisi itu, membuat akan selalu ada Juhaiman-Juhaiman lainnya. Trofimov menyebut Osama bin Laden adalah salah satu buah konflik rumit itu. Mungkin karena hanya berpikir kelanggengan kekuasaannya, dinasti Saud secara tidak sadar telah memelihara anak macan yang bisa menggigit majikannya ketika dewasa. Ekspansi besar-besaran ideologi Wahhabi yang didanai oleh pemerintah Saudi secara tidak langsung ditengarai telah berhasil mewujudkan pemerintahan Taliban di Afganistan (sebelum digusur Amerika pasca WTC).

Selasa, 05 Februari 2008

Mutu SMA





Jika berbicara mengenai mutu SMA, maka ada beberapa titik pandang dan rumusan. Pada umumnya orang akan berbicara mengenai prestasi akademik. Itupun berbeda-beda kriterianya. Ada yang mengukur nilai Ujian Nasional, ada yang menghitung berapa banyak lulusannya yang diterima di perguruan tinggi favorit (untuk Bandung, misalnya ITB dan Unpad), ada juga yang melihat dari passing grade, yaitu nilai yang harus dimiliki oleh lulusan SMP untuk dapat diterima di suatu SMA. Itu baru bicara mengenai ukuran prestasi akademik, belum soal ukuran mutu sekolah itu sendiri.


Prestasi Akademik

Saya berpendapat prestasi akademik sebuah SMA diukur dengan nilai Ujian Nasional / Daerah. Persoalan apakah ujian nasional menjadi kriteria kelulusan adalah soal lain. Suatu ujian nasional / daerah adalah satu-satunya tolok ukur yang bisa digunakan bersama untuk membandingkan sejumlah sekolah di suatu area tertentu. Setiap siswa SMA harus menempuh suatu ujian nasional / daerah, sementara tidak selalu lulusan SMA akan meneruskan ke perguruan tinggi favorit. Apalagi jaman sekarang pilihan hidup dan karir tidak melulu ditentukan oleh pilihan pendidikan tinggi. Passing grade tidak dapat dijadikan ukuran prestasi akademik suatu sekolah, karena passing grade hanyalah mencerminkan suatu image sekolah dan perbandingan permintaan-pasokan. Memang passing grade yang tinggi membuat sekolah itu memiliki modal siswa yang bagus (yang pada akhirnya bisa menghasilkan lulusan yang bagus juga), namun tidak bisa secara langsung menjadi ukuran atas capaian yang dihasilkan oleh proses belajar-mengajar di sekolah itu.


Lalu, nilai ujian nasional seperti apa yang dijadikan ukuran? Ada nilai tertinggi, ada nilai rata-rata, ada lebar pita nilai. Nilai tertinggi, selain suatu prestasi sekolah, juga tergantung dari prestasi individu siswa. Saya tidak terlalu tertarik menjadikan nilai tertinggi ini menjadi ukuran prestasi sekolah. Saya lebih cenderung untuk menggunakan nilai rata-rata dan lebar pita nilai. Nilai rata-rata menunjukkan prestasi seluruh siswa di sekolah itu. Makin tinggi nilai rata-rata tentunya makin bagus. Lebar pita nilai menunjukkan kisaran dari nilai tertinggi ke nilai terendah. Makin sempit kisaran ini makin kecil jarak antara nilai tertinggi dan terendah, berarti makin bagus. Kedua parameter ini merupakan hasil kerja keroyokan semua pihak: siswa, guru, manajemen sekolah, komite sekolah dan orang tua; sehingga lebih relevan untuk dijadikan sebagai ukuran prestasi akademik suatu sekolah.



Life Skill

Makin banyak orang berpendapat bahwa mutu sekolah tidak melulu hanya prestasi akademik. Ada sesuatu hal yang lain yang juga penting diperhatikan dan diukur. Sesuatu yang lain itu ada yang menyebutnya kreativitas (disampaikan dengan baik oleh Dewi Lestari pada Diskusi Panel Peningkatan Mutu SMAN 2 Bandung tanggal 3 Februari 2008). Ada juga yang mengatakan kemampuan untuk belajar (Ir. Yani Panigoro pada acara yang sama). Secara umum, barangkali bisa diwakili oleh dua kata yang disampaikan oleh DR. Ir. Rudi Rubiandini RS, juga pada acara yang sama: Life Skill.


Life skill secara umum bisa diartikan sebagai ketrampilan (yang dibutuhkan untuk bisa terus) hidup. Untuk bisa terus hidup setelah lulus SMA, baik menjadi mahasiswa, atau langsung terjun bekerja, ketrampilan apa yang akan selalu dibutuhkan? Salah satunya adalah ketrampilan untuk bisa belajar menghadapi sesuatu yang baru. Ini berarti yang diasah adalah ketrampilan mengelola motivasi, kepercayaan diri, keterbukaan, berpikir positif, etos kerja, dan kerjasama. Kreativitas juga suatu ketrampilan yang akan selalu dibutuhkan. Menumbuhkan dan mengasah kreativitas berarti membiasakan berpikir (dan bertindak) di luar kotak (out of box thinking), selalu mencari alternatif baru yang lebih baik, serta membiasakan bahwa selalu ada banyak jalan untuk mencapai suatu tujuan.


Elemen lain life skill adalah kejujuran dan displin. Kejujuran akan mengasah mata hati nurani kita, untuk bisa dengan tegas memilah mana yang benar (yang biasanya sukar untuk dilakukan), dan mana yang mudah (yang biasanya cenderung abu-abu atau tidak jelas benar-salahnya). Sementara disiplin melatih kemampuan kita untuk tetap fokus pada tujuan, menghargai dan peduli pada orang lain, serta melatih keteguhan.


Persoalannya adalah, bagaimana menyusun program life skill ini dalam kegiatan sekolah, serta menetapkan tolok ukurnya sehingga kita bisa dengan pasti dapat mengukur capaian dari tahun ke tahun. Saya tidak punya kompetensi untuk ini, tetapi saya punya keyakinan bahwa life skill tidak semata-mata kegiatan ekstra kurikuler. Di kelas akademik pun, life skill bisa diajarkan dan dilatih. Sebagai contoh, siswa dapat didorong untuk menemukan berbagai jalan untuk menjawab suatu soal mata pelajaran tertentu. Dalam hal ini, siswa dilatih kreativitasnya sekaligus melihat contoh hidup bagaimana sang guru mempunyai sikap berpikir terbuka atas alternatif baru.



Peran Alumni

Faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan agar mutu sekolah dapat selalu ditingkatkan adalah: manajemen sekolah, guru, siswa, orangtua, dan sarana-fasilitas. Alumni bukan faktor kunci dan juga bukan stake holder lagi (kecuali alumni yang menjadi guru, orangtua, kepala sekolah, atau anggota komite sekolah). Namun alumni, baik perseorangan maupun melalui ikatan alumni, bisa melakukan sesuatu untuk "memperlancar" roda kegiatan sekolah.


Kontribusi yang bisa dilakukan alumni diantaranya adalah pelatihan, baik untuk siswa maupun guru. Selain pelatihan, alumni juga bisa menyelenggarakan semacam "career day". Kegiatan ini bisa berupa gambaran jurusan di pendidikan lanjutan, ataupun wawasan profesi di masyarakat. Alumni juga bisa membantu mengadakan sarana dan fasilitas yang diperlukan sekolah. Tentunya hal ini tidak dilakukan oleh Ikatan Alumni sebagai organisasi, tetapi lebih tepat dilaksanakan oleh alumni perserorangan atau kelompok kecil tertentu.


Sifat kontribusinya bisa berbentuk full-grant, semi-commercial, atau full-commercial. Full-grant adalah hibah murni dari alumni kepada sekolah, baik jasa maupun barang. Hibah jasa misalnya kegiatan workshop fotografi, ketrampilan menulis, membuat film, dan lain-lain. Hibah barang bisa berbentuk pembangunan sarana laboratorium, ruangan kelas, dan sarana fisik lainnya. Kontribusi yang berbentuk semi-commercial bisa berupa jasa dan barang. Misalnya jasa pelatihan guru, bila instrukturnya adalah alumni dapat diberikan diskon yang cukup signifikan. Bila menyangkut pembangunan ruangan kelas, misalnya, sekolah membayar biaya material sementara alumni menanggung ongkos pengerjaannya. Sementara kontribusi yang bersifat full commercial bisa berbentuk adanya imbalan komersial atas dukungan alumni untuk acara-acara seperti bazaar, pentas / festival seni, pekan olahraga, dll. Kontribusi full commercial ini juga bisa dalam bentuk penyediaan fasilitas talangan dana untuk pengadaan sarana fisik, yang harus dicicil oleh sekolah dalam jangka waktu yang disepakati bersama.



Pada akhirnya, yang akan menerima manfaat terbesar dari usaha peningkatan mutu sekolah adalah siswa itu sendiri. Karena itu, semua usaha harus difokuskan pada kepentingan siswa itu sendiri.