Selasa, 13 November 2007

Macet dan Busway

Jika bicara macet di Jakarta sekarang ini, umumnya orang akan juga bicara soal busway, alias TransJakarta. TransJakarta mulai beroperasi pada 15 Januari 2004, melayani jalur Blok M - Kota (koridor I) sepanjang hampir 13 kilometer. Tahun 2006 dibuka koridor II (Pulogadung- Harmoni) dan koridor III (Kalideres - Harmoni). Tahun 2007 empat koridor dibuka sekaligus: Pulogadung - Dukuh Atas, Ragunan - Latuharhary, Kampung Rambutan - Kampung Melayu, dan Kampung Melayu Ancol. Tahun 2008 direncanakan dibuka 3 koridor lagi: Lebak Bulus - Harmoni, Pinang Ranti - Pluit, dan Cililitan - Priok. Apakah kemacetan berkurang?
Yang jelas, penumpang yang diangkut TransJakarta masih sedikit jumlahnya. Menurut Darmaningtyas, Direktur Institut Studi Transportasi , dikutip dari Majalah Tempo edisi 39/XXXVI/19 - 25 November 2007 , Transjakarta baru mampu memindahkan penumpang angkutan umum lain. Berdasarkan survei lembaganya, hanya 13 persen dari penumpang Transjakarta yang sebelumnya pengendara kendaraan pribadi. Tiga juta orang lebih hingga kini tetap bermobil atau bersepeda motor.


Tetap macet ya. Mobil dan motor tetap seliweran di seluruh jalan. Supaya tujuan TransJakarta tercapai ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Pertama adalah headway, yaitu jarak antar bus. Idealnya headway ini kurang dari 5 menit pada jam sangat sibuk. Sekarang ini masih di atas 5 menit, bahkan kadang-kadang 20-30 menit. Hal lainnya adalah bus feeder. Susah mengharapkan orang yang biasa naik mobil pindah mengunakan TransJakarta jika untuk mencapai halte busway ini harus memakai angkutan sekelas metro mini. Artinya walaupun feeder ini tidak harus dibuat jalur khusus, tetapi kenyamanannya juga harus setara dengan TransJakarta. Demikian juga dengan ticketing-nya, harus satu atap dengan TransJakarta. Berikutnya adalah fasilitas park and ride. Di sejumlah titik halte TransJakarta seharusnya dibangun fasilitas parkir sehingga para pengguna mobil dan motor bisa memarkirkan kendaraannya di sana dan melanjutkan perjalanan dengan TransJakarta (dengan demikian menyaring jumlah mobil dan motor yang masuk Jakarta).
Tetapi kalau boleh "liar" sedikit, ada sejumlah pertanyaan "nakal" disini. Kenapa tidak menangani salah satu sumber kemacetan; yaitu mengurangi jumlah orang yang harus wara-wiri dari rumah ke tempat kerja setiap hari? Daripada membakar uang untuk BBM, lebih baik subsidi BBM dipakai untuk membangun apartemen di kota. Pemerintah pusat seharusnya mampu membuat skema insentif dan disinsentif anggaran bagi pemerintah daerah bila pemda mempunyai program penataan wilayah dan/atau transportasi massal yang bisa mengurangi pemakaian BBM oleh masyarakat.
Insentif bagi pemda misalnya, untuk setiap kilometer-penumpang yang berhasil diangkut oleh TransJakarta, maka pemda mendapatkan sejumlah dana yang berasal dari anggaran subsidi BBM pemerintah pusat. Insentif ini bisa dipakai untuk mensubsidi TransJakarta, sehingga pelayanannya bisa lebih cepat mencapai tingkat yang diharapkan.
Demikian juga dengan apartemen. Sejumlah insentif dan iming-iming harus ditawarkan kepada masyarakat agar bisa tinggal dekat dengan tempat kerjanya. Darimana dana untuk membangun apartemen dan menawarkan hadiah buat masyarakat yang mau pindah balik ke kota? Ya dari penghematan subsidi BBM salah satunya.
Jika kemudahan sudah ditawarkan, maka "kesulitan" bisa mulai diluncurkan. Misalnya setiap mobil dan motor yang masuk Jakarta nantinya harus bayar "iuran kemacetan". Iuran ini juga digunakan untuk meningkatkan pelayanan transportasi massal. Tetapi jangan mempersulit kemudahan membeli mobil atau motor, nanti berpengaruh kepada industri otomotif yang penting juga bagi ekonomi nasional. Fokuskan kepada disinsentif operasional kendaraan pribadi. Beli mobil murah dan gampang, mengendarainya mahal dan sedikit ribet.
Memang susah, dan kenyataannya tidak ada jalan mudah untuk mencapai kebaikan. Hanya saja bangsa kita ini terkenal tidak mau susah. Inginnya jalan pintas saja. Membangun busway tidak boleh menimbulkan kemacetan, berarti harus semalam jadi dong. Emangnya Bandung Bondowoso?

Rabu, 07 November 2007

Mata











Mata yang paling indah hanya matamu



Sejak bertemu kurasakan tak pernah berubah


Sinar yang paling indah dari matamu



Sampai kapanpun itulah yang terindah


(Titi DJ)

Selasa, 06 November 2007

Ungu Banget



Kembali ke tahun 1975. Aku masih kelas 5 SD, masih anak kecil, tapi sudah ingin punya mainan ABG. Salah satunya adalah ingin menjadi penggemar suatu kelompok musik. Radio OZ di Bandung sudah menjadi ikon anak muda (bahkan sampai sekarang masih bertahan, hebat). Majalah remaja yang ngetop adalah Aktuil. Band domestik yang populer waktu itu adalah Koes Plus, sementara band bule salah satunya adalah Deep Purple.




Album pertama Deep Purple yang kubeli adalah Stormbringer, termasuk lagu Soldier of Fortune yang legendaris itu. Belinya di toko kaset langganan ayahku di De Zon jalan Asia Afrika Bandung. (De Zon itu kira-kira kalo sekarang semacam ITC). Jaman dulu jika sudah punya langganan, beli kaset itu boleh bawa 10 ke rumah, pilih, lalu beli 2-3 kaset, sisanya dikembalikan dalam waktu 1 hari. Masih ingat benar, labelnya Lolita Record. Bajakan tentunya, jaman itu mana ada barang asli?




Perkenalanku dengan Deep Purple melalui dua jalur; teman sebelah rumah dan sepupuku di Semarang. Temanku punya kakak yang sudah SMA, dan seperti biasa sikap seorang kakak terhadap adiknya, kalau dalam bahasa sekarang kira-kira begini: "Kalo mau keren, nih dengerin Deep Purple. Cool banget deh". Ketika liburan ke Semarang ketemu sepupuku yang juga sudah SMA, musiknya juga Deep Purple, aku seperti mendapat verifikasi: inilah musik keren!




Sejak itu aku jadi fans berat Deep Purple. Hampir semua albumnya kubeli; Deep Purple in Rock, Machine Head, Fireball, Live in Japan, Live in Europe, Burn, sampai album Come Taste The band. Aku hapal personil dan bongkar pasangnya: vokalis Ian Gillan diganti David Coverdale karena Gillan bentro dengan gitaris Ritchie Blackmore. Bassist Roger Glover ikut kena getahnya didepak dan diganti oleh Glen Hughes, ex Trapeze. Formasi baru ini menghasilkan album Burn dan Stormbringer. Lalu Blackmore keluar karena tidak cocok dengan selera musik Coverdale, dan diganti oleh gitaris Amerika Tommy Bolin. Formasi ini menghasilkan album Come taste the Band. (Blackmore kemudian membentuk band baru, Rainbow. Aku juga menjadi penggemarnya).


Ayah dan ibuku selalu geleng-geleng kepala kalau aku sedang mendengarkan DeepPurple. Apalagi setelah lihat tampang personilnya: gondrong sepinggang, celana cutbray, sepatu hak tinggi (dog-killer). Mereka tidak habis mengerti mengapa ribuan orang (termasuk sepupuku yang di Semarang) rela pergi ke Stadion Utama Jakarta untuk menonton pentas kelompok cadas itu.


Hal yang sama terulang. Anak-anakku (kelas 1 SMP dan 5 SD) menyukai Black Eyed Peas, Eminem, Linkin Park, dan sejenisnya. Aku geleng-geleng kepala juga.............