Jumat, 11 Januari 2008

Banjir dan Bunuh Diri

Di sekolah kita belajar daur air. Panas matahari menguapkan air yang ada di lautan, sungai, danau di bumi, yang kemudian uap air itu berkumpul menjadi awan. Semakin lama awan semakin jenuh maka kumpulan uap air itu jatuh lagi ke bumi sebagai air hujan. Air hujan yang jatuh ke bumi ada yang masuk menjadi air tanah, ada yang mengalir menjadi air permukaan. Air permukaan ini masuk ke danau, sungai, lalu ke laut. Panas matahari menguapkan air kembali menjadi awan, dan seterusnya.

Banjir yang sering terjadi, termasuk banjir Bengawan Solo sejak Desember 2007 lalu, merupakan air permukaan yang tidak mampu ditampung oleh saluran yang ada (sungai, danau, rawa, dll). Jadi, mengurangi kemungkinan banjir bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas saluran dan mengurangi air permukaan. Meningkatkan kapasitas saluran bisa dengan melebarkan sungai, membuat sejumlah tempat limpasan air di sepanjang DAS, membuat danau buatan, waduk, sampai dengan bendungan raksasa.

Mengurangi air permukaan juga banyak caranya; diantaranya memelihara hutan, membuat terasering di perbukitan / pegunungan yang kemiringannya ke arah bukit / gunung itu sendiri (bukan ke arah sungai / lembah), memelihara tanah agar mampu menyerap air lebih banyak, membuat sumur resapan di lingkungan permukiman / perkotaan.

Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan? Ternyata kebalikan dari resep mengurangi banjir. Kita malah mengurangi kapasitas saluran dan menambah air permukaan. Danau dan rawa diurug, bantaran sungai dirampas jadi permukiman, hutan ditebang, tanah disulap jadi beton dan aspal tanpa sumur resapan, endapan sungai dibiarkan menumpuk di bendungan (sehingga kapasitas menampung airnya berkurang).

Coba kita perhatikan di rumah kita sendiri. Katakan luas tanah 200 m2, luas bangunan horisontalnya 120 m2, jadi sisa tanah terbuka 80 m2. Perhatikan, kemana air hujan mengalir setelah jatuh dari atap rumah kita? Ke selokan. Kemana air di halaman kita mengalir setelah tanahnya tidak mampu lagi menyerap hujan? Ke selokan. Kemana aliran air selokan rumah kita? Ke sungai! Kalikan jumlah air yang mengalir ke sungai itu dengan jutaan rumah yang "konstruksi-air"-nya serupa dengan rumah kita. Itu baru rumah, belum jalan, mal, pabrik, gedung perkantoran, dll. Di sisi lain, kapasitas sungai makin lama makin berkurang. Kalau sudah begini, banjir sudah menjadi suatu kepastian.

Jadi, banjir itu bukan bencana alam, bukan hukuman Tuhan. Itu bunuh diri manusia secara bersama-sama dan perlahan-lahan.

1 komentar:

DANIEL! mengatakan...

boleh saja bunuh diri bersama.. tapi orang lain harus mati duluan, kita yang paling lama bertahan hidup.. :D