Rabu, 20 Februari 2008

Kudeta Mekkah


Buku ini mengungkapkan kejadian pembajakan Masjidil Haram selama hampir 2 pekan di bulan November 1979 oleh sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi. Secara tidak langsung buku ini juga mengungkapkan sisi buruk praktek negara-agama; kaum ulama memanfaatkan kekuasaan negara untuk kepentingan alirannya, dan negara (pemerintah) memanfaatkan kekuatan agama (ulama) untuk mempertahankan kekuasaannya. Sejenis kolusi antara ulama dan pemerintah.

Pada 20 November 1979 bertepatan dengan awal Muharam 1400 H, setelah salat subuh terdengar bunyi tembakan senapan di Masjidil Haram. Tidak lama kemudian melalui pengeras suara mesijd diumumkan bahwa Masjidil Haram sudah diambil alih dan Imam Mahdi telah tiba. Seketika itu juga di tujuh menara mesjid para pemberontak sudah menyiapkan senapan mesin untuk menjaga mesjid dari serbuan aparat keamanan Saudi Arabia. Para jemaah haji berhamburan keluar, namun menyisakan sejumlah jemaah haji yang terperangkap di dalam karena para pemberontak sudah keburu menutup pintu mesjid.

Siapakah Juhaiman? Mengapa ia dan kelompoknya melakukan aksi nekat seperti itu? Mengapa aparat keamanan Saudi membutuhkan waktu 2 pekan untuk melumpuhkan pemberontak dan menguasai keadaan?

Seorang kepala suku di Najd bernama Mohammad al Saud adalah pengikut awal Abdul Wahhab. Pada awal abad-19 koalisi Saud-Wahhab ini sempat menguasai sejumlah kota termasuk Mekkah dan Medinah dari tangan Turki Usmani, sebelum akhirnya dibasmi oleh tentara Mesir atas perintah imperium Usmani. Pada 1902, keturunan Saud kembali berhasil merebut Riyadh, dan koalisi Saud-Wahhabi berhasil menguasai jazirah Arab dan lahirlah apa yang disebut sekarang sebagai Saudi Arabia. Perpecahan awal Saud dan Wahhabi terjadi ketika kaum Wahhabi menyerang Irak dan Kuwait pada 1927 dalam rangka menentang Raja Saud. Inggris sebagai penguasa Irak dan Kuwait saat itu mengalahkan kaum Wahhabi dan mengusirnya dari Irak dan Kuwait. Kemudian kaum Wahhabi ini dikalahkan oleh pasukan Saud di wilayah Arab Saudi. Juhaiman adalah keturunan langsung dari kelompok yang kalah itu.

Pada awal 1970-an, para ulama Wahhabi dalam keadaan gusar menghadapi modernisasi yang dilancarkan oleh pemerintah Raja Faisal sejak 1960-an. Hal-hal yang ditentang oleh para ulama diantaranya adalah pendidikan bagi perempuan, pencabutan hukum perbudakan, TV dan radio, sepakbola, rokok, serta pertunjukan seni dan budaya. Ketidaksukaan ulama terhadap pemerintah diperburuk oleh perilaku keluarga kerajaan yang dianggap menyimpang dari tuntunan Islam, seperti minuman alkohol, berfoya-foya, dan sejenisnya.

Sebagai antisipasinya, para ulama kemudian mendirikan pusat dakwah untuk membendung nilai-nilai baru yang dianggap non-Islami dari luar. Karena kegiatan ini dibiayai oleh pemerintah dan para ulama itu digaji oleh pemerintah, sementara pemerintah itu identik dengan keluarga Saud, maka walaupun dakwah ulama itu selalu menentang hal-hal yang disebut di atas tadi, mereka tidak pernah mengkritik pemerintah.

Juhaiman bukan ulama yang digaji pemerintah, dan dia masih menyimpan dendam atas penghinaan kepada leluhurnya ketika dikalahkan oleh tentara Saud pada 1927. Maka akhirnya ia dan kelompoknya membajak Masjidil Haram pada November 1979.

Menghadapi pemberontakan Juhaiman, aparat keamanan Saudi terlihat keteteran. Karena kelemahan aparatnya, baik motivasi maupun ketrampilan profesionalnya, pemerintah Saudi memerlukan dukungan fatwa ulama untuk masuk ke Masjidil Haram membawa senjata dan berperang membasmi pemberontakan. Akhirnya para ulama membolehkan tentara Saudi berperang di Masjidil Haram dan membekuk para pemberontak, hidup atau mati. Tentunya tidak gratis. Pemerintah dituntut untuk membiayai program dakwah para ulama Wahhabi, tidak saja di Arab Saudi, tetapi di seluruh dunia. Sejumlah tuntutan Juhaiman, seperti pembatasan peran perempuan di publik dan penggantian beberapa pejabat publik, juga harus dipenuhi oleh pemerintah.

Walaupun sudah berbekal fatwa, tentara Saudi masih memerlukan waktu 1 minggu untuk menguasai kembali Masjidil Haram dan tambahan 1 minggu lagi untuk menangkap para pemberontak yang masih hidup yang bersembunyi di lantai bawah tanah Masjid. Ratusan tentara Saudi tewas sebagai korban dalam pertempuran ini. Itu pun setelah mendatangkan anggota pasukan khusus dari Perancis yang bertindak sebagai penasehat.

Penulis buku ini adalah Yaroslav Trofimov, koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Lahir di Kiev, Ukraina, besar di Madagaskar, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Ia banyak menulis tentang agama dan perubahan sosial di negara-negara Muslim. Buku terkenalnya adalah Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu.
Trofimov berhasil mendapatkan informasi yang selama ini tidak diungkap mengenai kejadian pembajakan Masjidil Haram itu terutama dari Arab Saudi, baik di pihak pemerintah maupun di pihak pemberontak. Dalam analisisnya, Trofimov berkeyakinan bahwa kontradiksi yang timbul dari hubungan Saud-Wahhabi, ditambah sejarah kekerasan koalisi itu, membuat akan selalu ada Juhaiman-Juhaiman lainnya. Trofimov menyebut Osama bin Laden adalah salah satu buah konflik rumit itu. Mungkin karena hanya berpikir kelanggengan kekuasaannya, dinasti Saud secara tidak sadar telah memelihara anak macan yang bisa menggigit majikannya ketika dewasa. Ekspansi besar-besaran ideologi Wahhabi yang didanai oleh pemerintah Saudi secara tidak langsung ditengarai telah berhasil mewujudkan pemerintahan Taliban di Afganistan (sebelum digusur Amerika pasca WTC).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Peristiwa tragis ini seolah-olah tidak diketahui publik apalagi di sini. Hampir dua tahun yll saya melihat buku ini dipajang di toko buku Gramedia PIM, lalu belakangan saya melihat sorang kawan membacanya di tempat kerja. Minggu yll saya ke toko buku GRamedia PIM, ternyata bukui ini masih dijual tetapi tidak dipajang di depan melainkan di rak buku yang agak tersembunyi. Sebagai karya investigatif dan bidang sejarah, tentunya buku ini cukup menarik. Saya sendiri sedang mulai membacanya. Salam.

bud mengatakan...

free thinker? like it