Sabtu, 11 Oktober 2008

Malapetaka KPR Amerika

Catatan ini sekedar upaya pemahaman saya pribadi atas kejadian krisis keuangan global yang dimulai oleh krisis subprime mortgage di Amerika.

PERUMAHAN
Salah satu ideologi ekonomi Amerika adalah kepemilikan rumah. Memiliki rumah adalah salah satu mimpi Amerika. Rumah / properti juga dijadikan aset utama rakyat Amerika, mulai dari orang biasa sampai elit sekelas Donald Trump dan Robert T Kiyosaki.

Pada umumnya orang Amerika membeli rumah dengan fasilitas kredit (seperti KPR di Indonesia). Sejak depresi tahun 1930-an, sebagai salah satu upaya keluar dari krisis, pemerintah AS membangun infrastruktur ekonomi termasuk sektor properti dan perumahan. Pada tahun 1938 pemerintah AS membentuk BUMN The Federal National Mortgage Association (disingkat secara kreatif Fannie Mae). Tugasnya adalah membeli KPR dari perbankan sehingga perbankan memperoleh dana lagi untuk memberi KPR kepada lebih banyak rakyat Amerika. Fannie Mae membundel sejumah KPR untuk dijadikan produk sekuritas, mortgage-based securities (MBS). Fannie Mae menjual  MBS ini kepada para investor (Wall Street) atau menerbitkan obligasi dengan jaminan MBS ini. Para debitur KPR tetap melakukan pembayaran cicilan melalui bank asal, kemudian bank ini menyalurkan pembayaran itu kepada Fannie Mae untuk diteruskan kepada para investor.

Pada tahun 1968 Fannie Mae diprivatisasi. Kemudian untuk mengakhiri monopoli Fannie Mae pada tahun 1970  Kongres AS mengijinkan berdirinya perusahaan swasta The Federal Home Loan Mortgage Corporation (disingkat Freddie Mac). Meskipun tidak didanai pemerintah, 5 dari 18 direktur Freddie Mac ditunjuk oleh pemerintah (Majalah Tempo 21 September 2008). Kedua perusahaan ini sering disebut sebagai Government Sponsored Enterprise (GSE).

Selain itu, undang-undang perpajakan di AS juga memberi insentif untuk memiliki rumah, yaitu bunga cicilan KPR bisa dijadikan sebagai pengurang pajak.

UANG MURAH
Pada tahun 2000, ketika "DotCom" mania mulai tumbang, maka ekonomi AS memasuki perlambatan. Ditambah kejadian 9/11 pada 2001, maka ekonomi AS mengalami 2 pukulan bertubi-tubi. Bank sentral AS (The Fed) bereaksi dengan cara memotong bunga Fed rate berkali-kali sampai ke tingkat 1,25% p.a. Langkah ini memang manjur, ekonomi berputar kembali. Investasi marak karena biaya investasi (bunga riil) boleh dikatakan negatif (Al Jazeera, How Financial Bubble Burst).

Terjadi fenomena uang murah, pinjaman mudah. Hal ini memacu orang untuk (salah satunya) membeli rumah (ingat, kepemilikan rumah adalah impian Amerika). Karena permintaan meningkat, maka harga rumah juga melonjak. Para developer berlomba-lomba membangun rumah, para investor menanamkan uangnya disektor properti.

Harga rumah naik 20 persen per tahun (ingat hal ini terjadi pada waktu Fed rate hanya 1.25-2% per tahun). Menurut cerita, ada orang Indonesia tinggal di Washington DC membeli rumah tahun 1998 dengan harga US$ 210 ribu. Lima tahun kemudian ia menjualnya dengan harga US$ 410 ribu . Ibaratnya, orang ini tinggal 5 tahun tanpa membayar, malah dibayar.

Jika harga rumah naik 20 persen per tahun, maka di tahun kedua, nilai rumah (yang dijadikan jaminan) sudah 120 persen. Dengan demikian, nilai pinjaman (yang awalnya 100 persen terhadap nilai jaminan), pada awal tahun kedua menjadi hanya 83%. Nasabah yang pada tahun pertama hanya membayar bunga saja, tanpa pokok cicilan, tiba-tiba pada tahun kedua seakan-akan sudah membayar uang muka sebesar 17% (Cyrillus Harinowo, Majalah Tempo 12 Oktober 2008). Maka mulailah perbankan menawarkan KPR tanpa uang muka, dan mereka mulai menggarap segmen nasabah yang beresiko, khususnya nasabah berpendapatan rendah yang baru pertama kali membeli rumah. Ini yang disebut nasabah "sub-prime".


BUBBLE BURST
Karena harga rumah naik terus, maka perlahan-lahan mulai terjadi inflasi. Secara bertahap The Fed merespon dengan menaikkan suku bunga The Fed bertahap sampai akhirnya mencapai 5.25%. Karena tingkat bunga naik secara bertahap, maka para nasabah KPR perlahan-lahan melihat cicilan rumahnya juga perlahan-lahan naik, sampai.....suatu ketika mereka sadar mereka sudah tidak mampu bayar cicilan lagi. (Untuk Indonesia, situasi ini mirip bila suku bunga KPR yang sekarang rata2 10 persen perlahan-lahan naik menjadi 40%). Maka KPR mulai macet satu per satu, terutama bagi golongan "sub-prime" tadi. Maka dimulailah periode penyitaan rumah.

Para developer, tidak sadar atas situasi baru ini,  terus membanjiri pasar dengan rumah-rumah baru. Penjualan mulai seret, karena KPR mulai mahal. Stok rumah kosong makin bertumpuk, baik yang berasal dari rumah baru, maupun yang dari rumah sitaan.

Pada tahun 2006, harga rumah mulai turun. Di Florida dan California, harga rumah merosot 10, 15, bahkan 20 persen. Gelombang gagal bayar dan penyitaan makin membesar. Ditambah lagi karena nilai rumah turun, maka nilai jaminan juga turun, yang pada banyak kasus, menjadi lebih kecil daripada nilai pinjaman yang tersisa (Al Jazeera, How The Financial Bubble Burst).

Pada 2007, para kreditur KPR mulai goyah karena makin banyak kredit macet, beberapa diantaranya mulai bangkrut. Pada 2008 gelombang macet ini mencapai Wall Street, memakan Bear Sterns, kemudian Fannie Mae dan Freddie Mac, lalu Lehman Brothers dan Merryll Linch dan AIG.


SEKURITISASI MORTGAGE
Seperti diuraikan di atas, KPR-KPR di Amerika dibundel dan disekuritisasikan menjadi produk sekuritas yang dapat diperjual-belikan, seperti layaknya saham dan obligasi. Produknya dinamakan Mortgage-Based Securities (MBS), ada juga yang disebut sebagai Collateralised Debt Obligation (CDO).  Fannie Mae dan Freddie Mac berperan atas sekitar 50% dari total proses sekuritisasi mortgage di Amerika. Diperkirakan kedua GSE ini memegang mortgage senilai US$ 5.2 trilyun. Perdagangan MBS/CDO ini pada awalnya dimaksudkan untuk menyuntik dana segar ke perbankan sehingga mereka bisa membiayai KPR lebih banyak lagi.

Para pembeli produk sekuritas mortgage ini sangat banyak, mulai dari Reksadana, Dana Pensiun, Hedge Funds, Private / Investment Banks, dan lain-lain; di Amerika dan di seluruh dunia. Lehman Brothers, JP Morgan, Citigroups, Deutsche Bank salah satu di antara para pembeli itu.

Untuk melindungi pembeli / pemegang MBS / CDO ini, lalu muncul produk turunan yang dinamakan Credit Default Swap (CDS). Ini semacam asuransi obligasi yang melindungi pemilik obligasi dari kerugian bila obligee-nya mengalami kesulitan. Perusahaan yang menerbitkan asuransi ini tentunya harus menyisihkan dananya sebagai "kolateral", sehingga penerbit CDS bisa membayar klaim.

Dengan asumsi bahwa harga properti akan naik terus, maka perdagangan MBS / CDO berikut derivatifnya (CDS dll) makin naik volume dan nilainya, berlipat-lipat di atas nilai awal mortgage-nya.


KEKACAUAN WALL STREET
Sekitar 20% dari jutaan mortgage yang diperjual-belikan ternyata merupakan kategori "sub-prime".  Ternyata pula, sebagian MBS / CDO tadi mengemas mortgage "prime" dan "sub prime" dalam satu bundel / produk. Konsekuensinya, pada saat baik, mortgage "sub prime" akan dinilai sebagai produk bagus, karena disatukan dengan mortgage "prime". Sebaliknya, ketika situasi memburuk, maka mortgage "prime" akan dinilai buruk karena bersatu dengan mortgage "sub-prime". Ketika para nasabah "sub-prime"  mulai mengalami gagal bayar cicilan, maka dimulailah malapetaka ini.

Di garis depan yang pertama bangkrut adalah kreditur KPR, dimulai sejak tahun 2007. Mereka mengalami kesulitan likuiditas (karena nasabah gagal membayar cicilan), ditambah kerugian karena nilai jaminan menjadi dibawah nilai pinjaman.

Fannie Mae dan Freddie Mac giliran berikutnya. Karena berpotensi mengalami kerugian, para investor melepas saham GSE ini di bursa Wall Street. Akibatnya saham kedua perusahaan ini jatuh bebas. Sejak awal 2008, saham biasa kedua perusahaan ini jatuh 85% dengan kapitalisasi pasar yang hilang lebih dari 100 milyar dollar. Menghitung kerugian saham preferensi agak lebih sulit. Mereka menerbitkan sejumlah saham preferensi dengan harga yang berbeda-beda. Salah satu saham preferensi Freddie Mac yang diterbitkan 29 November 2007 pada $25 per saham misalnya, ditutup dengan nilai $12.87 pada 27 Agustus 2008, menimbulkan total kerugian hampir 3 milyar dollar bagi pemegangnya. (Business Week, Fannie Mae and Freddie Mac: A Damage Report).

Berikutnya, para pemegang MBS / CDO. Karena nilai produk sekuritas ini terus turun, maka para pemegangnya harus menghapus-bukukan nilai dan mencatat kerugian. Akibatnya, saham perusahaan-perusahaan ini juga terjun bebas.  Karena tekanan kerugian dan anjloknya saham, dampaknya mulai mencapai investment-bank. Pada Maret 2008, Bear Sterns, investment-bank kelas utama yang pertama tumbang. 

Para pemilik dana menjadi ekstra hati-hati. Mereka menghentikan pinjaman kepada individu, private-banks, bahkan antar perbankan. Mengalami tekanan bertubi-tubi: kerugian MBS/CDO yang dipegangnya, hancurnya harga saham perusahaannya, dan hilangnya sumber pendanaan / pinjaman, akhirnya membuat Lehman Brothers bangkrut. 

CDS yang seharusnya diterbitkan dengan kolateral, ternyata banyak yang dibuat tanpa jaminan. Ini mungkin yang menyebabkan perusahaan asuransi AIG megap-megap sehingga harus dibantu pemerintah AS sejumlah 85 milyar dollar.

Bangkrutnya Lehman Brothers mengungkap lebih banyak borok. Seperti para dealer lainnya, Lehman melakukan transaksi beresiko tinggi memindahkan uang dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Dalam suatu transaksi derivatif, mitra diminta untuk menaruh kolateral, yang kemudian oleh Lehman kolateral ini digunakan berkali-kali untuk transaksi pengumpulan dana yang berlainan.  Asosiasi International Derivatif dan Swap (ISDA) memperkirakan para investment-bank berhasil mengumpulkan kolateral para mitra mereka sejumlah $2 trilyun, yang kemudian dijadikan kolateral lagi oleh para investment-bank itu untuk memperoleh dana beberapa kali lipat. Pengadilan kepailitan Lehman saat ini menangani sekitar 1 juta transaksi derivatif yang macet senilai lebih dari 700 milyar dollar dengan sekitar 8000 partner yang menuntut pengembalian kolateralnya. (Business Week, Lehman: One Big Derivatives Mess).


DUNIA GONCANG
Lehman juga menyebabkan main keringnya likuiditas pendanaan, yang pada akhirnya mendorong Wall Street makin jeblok. Setelah mulai batuk karena sub-prime mortgage, Wall Street makin hancur karena gabungan faktor-faktor: kerugian para emiten yang mengakibatkan investor menjual saham, praktek short selling yang makin menurunkan nilai saham, keringnya likuiditas yang menyebabkan pelaku pasar menjual saham untuk mendapatkan dana tunai, dan kepanikan karena tidak ada yang tahu sebesar apa gunung es yang ada di bawah permukaan.

Karena seluruh bursa saham di dunia saling terhubung satu dengan yang lain, maka faktor-faktor di atas juga terjadi di semua bursa saham di dunia. Bank-bank di Eropa memiliki banyak eksposure terkait dengan produk MBS/CDO ini. Penurunan nilai sekuritas ini memaksa bank-bank mencatatkan kerugian (dalam orde milyar-milyar dolar), yang kemudian menjatuhkan nilai saham bank-bank ini, kemudian memicu kepanikan para nasabah bank atas keamanan simpanan mereka di bank.  Sejumlah pemerintah di Eropa telah menasionalisasi sejumlah bank dalam rangka menjamin dana simpanan para nasabah.

Bursa saham Indonesia tidak terkecuali. Faktor negatif lokal juga memperparah IHSG. Faktor lokal yang dimaksud adalah transaksi Repo dan sentimen negatif kelompok Bakrie. Rupiah juga merosot nilainya terhadap dollar Amerika karena gabungan faktor-faktor: pelarian modal investor asing dari bursa ke luar negeri (mungkin untuk menutupi kerugian atau kebutuhan dana), dan kepanikan para pelaku ekspor-impor yang tiba-tiba menghadapi situasi kurangnya pasokan dollar.


Sejauh ini, begitulah pemahaman saya atas krisis finansial global yang bermula dari krisis subprime mortgage di Amerika. Entri selanjutnya akan menguraikan pemahaman saya mengenai langkah perbaikan yang dilakukan.