Dalam suatu rapat RW di tempat tinggal saya, ada obrolan mengenai pelaksanaan konversi minyak tanah ke LPG. Pengurus RW mendapat tugas dari Kelurahan untuk membagikan formulir survey dari Pertamina mengenai kelayakan penerima kompor dan tabung gas gratis. Menurut info, RW kami akan mendapat jatah untuk membagikan sekitar 500 tabung LPG dan kompor gas gratis.
Sekilas perkembangan ini membesarkan hati, karena berarti program konversi minyak tanah ke LPG sudah mulai berjalan sampai ke tingkat RW. Namun mengapa RW kami yang notabene merupakan kompleks perumahan yang mayoritas bukan pengguna minyak tanah tetap mendapatkan jatah tabung dan kompor gas gratis? Bukankah kalau dibagikan kepada bukan pengguna minyak tanah maka tujuan program ini menjadi tidak tercapai? Ketika hal ini ditanyakan kepada petugas kelurahan, jawabnya adalah program ini adalah program pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menyukseskannya (dalam arti menyalurkannya).
Ternyata memang sudah terjadi pembagian yang tidak tepat sasaran. Saudara tetangga saya yang bermukim di Jakarta Pusat sudah menerima tabung dan kompor gas gratis. Salah satu keluarga besar saya di Bandung juga sudah menerimanya. Padahal mereka bukan pengguna minyak tanah, melainkan sudah menjadi pelanggan LPG sejak dulu.
Rencana pembagian kompor dan tabung gas gratis ini juga sudah menimbulkan "konflik" rumah tangga dan warga. Sebagian para kepala rumah tangga di RW saya berketetapan untuk tidak menerima tabung dan kompor gas ini. Namun ternyata sebagian dari mereka malah bertengkar dengan istri di rumah, yang berpendapat jangan menolak barang gratis. Ada satu RT yang sengaja tidak membagikan formulir survey itu, tapi kemudian diprotes oleh sejumlah ibu-ibu RT. Di RT yang lain, formulir dibagikan kepada para suami dan diisi sedemikian sehingga tidak akan lulus verifikasi Pertamina, tanpa setahu para ibu supaya tidak terjadi protes.
Kejadian ini sekali lagi merupakan cermin dari aparat pemerintahan yang malas berpikir dan berusaha. Bagi mereka tugas ini hanyalah angka: berapa banyak jumlah tabung dan kompor gas yang sudah disalurkan. Mereka tidak mau tahu apakah penyaluran ini sudah tepat sasaran dengan tujuan program ini; yaitu penghematan konsumsi minyak tanah yang berarti penghematan subsidi APBN. Lebih parah lagi bila kejadian ini dimanfaatkan oleh tangan-tangan serakah untuk mendapatkan keuntungan kelompok / pribadi.
Mungkin seharusnya pemerintah daerah dilibatkan lebih dalam lagi dalam pelaksanaan program semacam ini, termasuk insentif anggarannya. Tolok ukur keberhasilan tentunya tidak hanya dilihat dari berapa banyak tabung dan kompor gas yang sudah disalurkan, tetapi berapa banyak pengurangan konsumsi minyak tanah di daerah masing-masing. Apabila pemda
berhasil menunjukkan adanya pengurangan konsumsi minyak tanah secara signifikan, sudah selayaknya pemda mendapatkan bagian dari subsidi BBM yang berhasil dihemat. Anggaran tambahan ini tentunya hanya boleh digunakan terutama bagi wilayah-wilayah yang menjadi sasaran konversi minyak tanah; baik yang langsung terkait dengan BBM seperti pembangunan jaringan distribusi LPG, ataupun untuk pembangunan wilayah seperti dana pendidikan, kesehatan, lingkungan, penataan wilayah kumuh. Dengan demikian tentunya pemda akan mau berpikir dan berusaha keras mensukseskan program konversi energi ini.
SILENCE
7 tahun yang lalu