Kembali ke tahun 1975. Aku masih kelas 5 SD, masih anak kecil, tapi sudah ingin punya mainan ABG. Salah satunya adalah ingin menjadi penggemar suatu kelompok musik. Radio OZ di Bandung sudah menjadi ikon anak muda (bahkan sampai sekarang masih bertahan, hebat). Majalah remaja yang ngetop adalah Aktuil. Band domestik yang populer waktu itu adalah Koes Plus, sementara band bule salah satunya adalah Deep Purple.
Album pertama Deep Purple yang kubeli adalah Stormbringer, termasuk lagu Soldier of Fortune yang legendaris itu. Belinya di toko kaset langganan ayahku di De Zon jalan Asia Afrika Bandung. (De Zon itu kira-kira kalo sekarang semacam ITC). Jaman dulu jika sudah punya langganan, beli kaset itu boleh bawa 10 ke rumah, pilih, lalu beli 2-3 kaset, sisanya dikembalikan dalam waktu 1 hari. Masih ingat benar, labelnya Lolita Record. Bajakan tentunya, jaman itu mana ada barang asli?
Perkenalanku dengan Deep Purple melalui dua jalur; teman sebelah rumah dan sepupuku di Semarang. Temanku punya kakak yang sudah SMA, dan seperti biasa sikap seorang kakak terhadap adiknya, kalau dalam bahasa sekarang kira-kira begini: "Kalo mau keren, nih dengerin Deep Purple. Cool banget deh". Ketika liburan ke Semarang ketemu sepupuku yang juga sudah SMA, musiknya juga Deep Purple, aku seperti mendapat verifikasi: inilah musik keren!
Sejak itu aku jadi fans berat Deep Purple. Hampir semua albumnya kubeli; Deep Purple in Rock, Machine Head, Fireball, Live in Japan, Live in Europe, Burn, sampai album Come Taste The band. Aku hapal personil dan bongkar pasangnya: vokalis Ian Gillan diganti David Coverdale karena Gillan bentro dengan gitaris Ritchie Blackmore. Bassist Roger Glover ikut kena getahnya didepak dan diganti oleh Glen Hughes, ex Trapeze. Formasi baru ini menghasilkan album Burn dan Stormbringer. Lalu Blackmore keluar karena tidak cocok dengan selera musik Coverdale, dan diganti oleh gitaris Amerika Tommy Bolin. Formasi ini menghasilkan album Come taste the Band. (Blackmore kemudian membentuk band baru, Rainbow. Aku juga menjadi penggemarnya).
Ayah dan ibuku selalu geleng-geleng kepala kalau aku sedang mendengarkan DeepPurple. Apalagi setelah lihat tampang personilnya: gondrong sepinggang, celana cutbray, sepatu hak tinggi (dog-killer). Mereka tidak habis mengerti mengapa ribuan orang (termasuk sepupuku yang di Semarang) rela pergi ke Stadion Utama Jakarta untuk menonton pentas kelompok cadas itu.
Hal yang sama terulang. Anak-anakku (kelas 1 SMP dan 5 SD) menyukai Black Eyed Peas, Eminem, Linkin Park, dan sejenisnya. Aku geleng-geleng kepala juga.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar