Selasa, 29 Januari 2008

Presiden Soeharto

Presiden Soeharto wafat, 27 Januari 2008.



Tahun 1998, saya baru pulang berenang mengantar anak saya. TV di rumah sudah menyala dan sedang menayangkan Presiden Soeharto berpidato. Kemudian, "saya, dengan ini menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden Indonesia...". Saya merasa lega, karena saya pikir hal ini menjadi jalan keluar dari situasi hiruk-pikuk dan trauma kerusuhan seminggu sebelumnya. Saya langsung berangkat ke kompleks DPR bersama istri saya untuk merayakan kejadian ini bersama para mahasiswa di sana.



Tahun 1988, saya baru selesai menunaikan jabatan sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin ITB, dengan lega, karena tidak harus bentrok dengan aparat keamanan. Resiko bentrok ini selalu disandang aktivis kampus pada jaman itu, mengingat atmosfir yang sangat represif. Setahun sebelumnya, hanya gara-gara demo menentang helm, aparat keamanan menumpas demonstrasi mahasiswa di Makassar dengan jatuhnya korban jiwa. Setahun sesudahnya, 1989, demonstrasi menolak Rudini di kampus ITB telah menyebabkan sejumlah aktivis masuk penjara.



Tahun 1978, saya masih kelas 2 SMP. ITB diduduki tentara, karena mahasiswa menolak Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden pada Sidang Umum MPR. Karena ayah saya adalah agen suratkabar di Bandung, maka saya termasuk anak yang tahu pertama kali bahwa pada hari itu sejumlah suratkabar di Jakarta dan Bandung dibredel, tidak boleh terbit. Di sekolah, ternyata anak kelas 3 sudah menyiapkan mimbar bebas menampilkan orasi anti pemerintah dan Soeharto. Jam 09.00 panser tentara sudah nongkrong di depan sekolah dan kami bubar lari. Sejak saat itu sekolah di seluruh Bandung ditutup selama 2 bulan, libur. Akibatnya tahun ajaran molor sampai 6 bulan sehingga awal tahun ajaran bergeser dari semula Januari menjadi Juli.



Tahun 2008, ada kelegaan melihat cara media meliput Presiden Soeharto sejak sakit sampai wafat. Lega, karena bangsa kita (maksudnya: pemerintah) tidak mengulangi kesalahan memperlakukan Presiden Soekarno sedemikian buruk ketika sakit dan wafatnya. Walaupun agak berlebihan (tapi bukankah ini sudah menjadi ciri bangsa: dari ekstrim satu ke titik ekstrim lain), namun saya pikir memang demkianlah seharusnya kita memperlakukan presiden kita.

Apapun hasil karya Presiden Soeharto bagi bangsa ini setelah berkuasa 32 tahun, tampaknya tidak bersisa karena kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pembangunan ekonomi yang tumbuh sampai 7-9 % per tahun ternyata dibiayai oleh hutang yang tidak dikelola dengan baik. Krisis 1997-1998 menumbangkan ekonomi seperti rumah kertas. Stabilitas dan persatuan yang dibanggakan ternyata dibangun dengan tangan besi dan pembungkaman. Kekuasaaan yang terlalu lama di satu tangan telah menyebabkan tumbuhnya budaya ABS, feodal, menjilat, yang juga menyuburkan lahan untuk KKN. Atmosfir yang represif ditambah budaya feodal baru, pada akhirnya menumbuhkan manusia Indonesia tidak memiliki karakter yang dibutuhkan untuk tantangan abad baru: kreativitas, kejujuran, kerja keras.

Namun saya belum bisa menjawab pertanyaan: apakah Presiden Soeharto harus diadili untuk mempertanggungjawabkan jabatannya? Saya tidak ingin seorang presiden Indonesia harus diadili karena ternyata kebijakannya keliru dan oleh karena itu tidak lagi diterima oleh jaman baru. Namun, di sisi lain, kerusakan ekonomi yang ditimbulkan juga luar biasa hebat, terutama korupsi, baik dari segi budaya, maupun dari segi kerugian ekonomi. Jadi, saya sering berpikir, bila urusannya lebih kepada rasa keadilan, yang berujung pada uang hasil korupsi, maka justru sekarang lah saat yang tepat untuk menyita harta (yang dicurigai) hasil korupsi. Saya pikir republik ini sama sekali tidak berhutang budi kepada anak-anak Presiden Soeharto. Walaupun mungkin mereka pintar berbisnis, rasanya sulit ditolak akal sehat bahwa modal awal bisnis mereka adalah ada kemudahan karena ayah mereka adalah presiden. Dan kemudahan, pada jaman itu, sangat dekat dengan korupsi.

Jumat, 25 Januari 2008

Rambut Perempuan

Menurut pandangan Islam konvensional pada umumnya, rambut perempuan merupakan anggota tubuh yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. Argumen pada umumnya mengacu ke surat An Nuur (24) ayat 31 dan Hadis Nabi. Dua teks itu membawa kesimpulan yang umumnya dianut yaitu perempuan dewasa wajib berkerudung (khimar) menutupi rambutnya di depan umum.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bila kedua teks itu tidak dimaksudkan demikian? Tegasnya, bagaimana bila rambut perempuan itu boleh-boleh saja diperlihatkan di depan umum?


Surat An-Nuur 31

Ayat 24:31 ini menyebutkan bahwa perempuan haruslah (i) menjaga kehormatan dalam cara berpakaian, (ii) tidak memperlihatkan perhiasan kepada selain muhrimnya, anak-anak yang belum dewasa, dan laki-laki kasim; kecuali yang biasa terlihat, (iii) menutupi dadanya (dengan menggunakan kerudung).

Kata 'kehormatan" itu sebenarnya tafsiran dari kata asli yang tertulis, yaitu saw’atihima, yang artinya organ genital. Bila melihat kata aslinya, jelas bagian mana yang disebut dengan organ genital, rambut tidak termasuk kedalamnya. Sementara kata kehormatan memang lebih luas maknanya, mencakup aspek perilaku dan kepribadian.

Pengertian perhiasan memang luas dan Al Qur'an tidak secara spesifik menunjuk kepada satu hal mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan. Bisa berarti perhiasan dalam arti gelang, cincin, kalung, anting, dan sebagainya. Bisa juga dandanan / riasan perempuan (termasuk asesoris tadi). Bisa juga termasuk bagian tubuh tertentu (dalam hal ini ada yang menafsirkan termasuk juga rambut). Namun bila yang dimaksud adalah bagian tubuh tertentu, ayat ini secara spesifik sudah menetapkan organ genital dan bagian dada. Apabila rambut atau bagian tubuh lainnya juga harus ditutup, mengapa tidak disebutkan secara spesifik? Sementara, organ genital dan dada disebutkan secara tegas. Frase “kecuali yang biasa terlihat” seakan menegaskan bahwa selain organ genital dan sekitar dada, maka pengertian bagian tubuh dan perhiasan dapat diserahkan kepada kebiasaan lokal.

Frase "hendaknya meraka menutupkan kain kudungnya ke dadanya" jelas sekali adalah perintah menutupi dada; bukan menutupi rambut, ataupun menggunakan kerudung. Mengapa harus menggunakan kerudung untuk menutupi dada? Menurut Muhammad Said al-Asymawi (seorang juris, pakar perbandingan hukum Islam dan hukum konvensional, mantan Kepala Pengadilan Tiinggi Kairo, Mesir), pada jaman Nabi dahulu, perempuan Arab sudah memakai kerudung namun pemakaiannya menjuntai ke belakang, sementara dadanya dibiarkan terbuka (Muhammad Said al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab, 2003). Jadi, daripada kerudung itu menjuntai ke belakang, lebih baik sampirkan ke depan untuk menutupi dada.



Konsep Aurat

El Guindi mengartikan aurat sebagai "kerentanan terhadap gangguan". Beberapa konteks yang lahir adalah organ genital perempuan, rumah, privasi rumah tangga, privasi perempuan. Kata aurat yang berkonotasi organ genital perempuan terdapat di surat An Nuur ayat 31 tadi: "...atau anak-anak di bawah umur yang belum mengerti aurat perempuan". Sementara pada surat An Nuur ayat 58 bermakna konsep dan ruang privasi perempuan ("Hai orang -orang yang beriman, hendaklah para kasim dan anak laki-laki di bawah umur tidak memasuki ruang pribadimu dalam tiga waktu,............itulah tiga aurat bagi kamu............"). Makna aurat ketiga yang digunakan oleh Al Quran adalah dalam surat Al Ahzab ayat 13 yang bermakna perlindungan, keselamatan, keamanan yang berkaitan dengan rumah. ("....satu kelompok diantara mereka meminta ijin kepada Nabi untuk pergi dengan mengatakan "rumah kami benar-benar aurat", rumah mereka tidaklah aurat, keinginan mereka sebenarnya adalah lari dari perang..."). (Fadwa el Guindi, Jilbab, 2003).


Kritik hadis

HR Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma putri Abu Bakar suatu hari berkunjung ke rumah Nabi, lantas Nabi bersabda menegurnya: "Wahai Asma! Bila seorang gadis telah haid, tidak boleh (lam yasluh) terlihat bagian organ tubuhnya kecuali bagian ini (Nabi menunjuk muka dan kedua telapak tangannya)."

Hadis lainnya, Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah bersabda: "Tidak halal (la yahill) bagi seorang perempuan yang telah baligh, sementara dia beriman kepada Allah dan hari akhir, terlihat bagian organ tubuhnya, kecuali muka dan kedua tangannya, sampai batas ini (Nabi menggenggam setengah lengannya)."

Menurut Asymawi, kedua hadis itu tidak dapat dijadikan dasar hukum yang mengikat publik untuk menutup rambut / kepala karena:


1. Kedua hadis itu bersifat ahad, bukan mutawatir.

2. Kedua hadis itu walaupun berasal dari satu sumber (Aisyah), tetapi isinya kontradiksi: yang satu menggunakan kata tidak halal (la yahill), yang lain menggunakan kata tidak boleh (lam yasluh). Makna "halal-haram" sangat berbeda dengan "boleh-tidak boleh". Kemudian, yang satu membatasi sampai kedua pergelangan tangan, yang lain sampai setengah lengan.

3. Hadis itu hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, tidak oleh periwayat lainnya seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Hanbal, Sunanun Nasa'i, atau Suna Ibnu Majah

4. Hadis ini mursal karena ada satu mata rantai perawi yang putus. Khalid bin Darik yang meriwayatkan dari Aisyah ternyata tidak pernah bertemu dengan Aisyah karena hidup tidak sezaman dengan Aisyah.

Sementara ada hadis lain yang mengisyaratkan bahwa rambut / kepala perempuan tidak ditutup kecuali ketika sedang shalat. HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hanbal: "Tidak diterima salat seorang perempuan yang telah haid (baligh) kecuali bila dilakukan dengan menggunakan kerudung". Hadis ini secara implisit mengakui bahwa sehari-hari kepala perempuan tidak ditutupi kerudung, kecuali jika sedang shalat. (Kritik Atas Jilbab, 2003).



Tanpa menafikkan bahwa ada kemungkinan memang Nabi telah bersabda seperti tersebut di atas, fakta bahwa Nabi tidak mengumumkan secara luas mengenai aturan berpakaian menunjukkan bahwa Nabi memang tidak ingin mengatur. Bila Nabi berketetapan untuk menerapkan aturan berpakaian seperti dalam hadis di atas sebagai "aturan publik" yang mengikat, mengapa beliau tidak mengumumkannya, seperti ketika beliau mencontohkan shalat?

Opini

Berbeda dengan pandangan pada umumnya, saya pribadi berpendapat bahwa rambut perempuan tidak harus ditutup. Lebih jauh lagi, pakaian bukanlah suatu syariah atau kewajiban agama; itu lebih kepada etika, kepantasan, dan cita rasa yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Pedoman umum agama dalam hal berpakaian adalah untuk menjaga kesopanan dan kehormatan.

Pakaian dapat digunakan untuk menunjukkan identitas, misalnya perempuan Muslim dapat menggunakan kerudung untuk menunjukkan kemuslimannya. Namun ini tidak berarti kerudung dapat digunakan sebagai "indikator" keimanan atau kesalehan seseorang. Seseorang yang sudah memakai kerudung misalnya, dia semestinya dapat saja secara bebas melepas dan menggunakannya kembali, tanpa harus ketakutan dinilai "kurang beriman" atau level keimanannya "turun".

Kerudung, sebagaimana pakaian umumnya, adalah pilihan bebas setiap orang, sepanjang dengan berpakaian itu kesopanan dan kehormatannya terjaga. Karena itu, tidak seorang pun atau pihak manapun yang dapat memaksakan apakah seseorang itu harus memakai atau tidak boleh memakai kerudung.

Wallahualam bisawab.

Jumat, 11 Januari 2008

Banjir dan Bunuh Diri

Di sekolah kita belajar daur air. Panas matahari menguapkan air yang ada di lautan, sungai, danau di bumi, yang kemudian uap air itu berkumpul menjadi awan. Semakin lama awan semakin jenuh maka kumpulan uap air itu jatuh lagi ke bumi sebagai air hujan. Air hujan yang jatuh ke bumi ada yang masuk menjadi air tanah, ada yang mengalir menjadi air permukaan. Air permukaan ini masuk ke danau, sungai, lalu ke laut. Panas matahari menguapkan air kembali menjadi awan, dan seterusnya.

Banjir yang sering terjadi, termasuk banjir Bengawan Solo sejak Desember 2007 lalu, merupakan air permukaan yang tidak mampu ditampung oleh saluran yang ada (sungai, danau, rawa, dll). Jadi, mengurangi kemungkinan banjir bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas saluran dan mengurangi air permukaan. Meningkatkan kapasitas saluran bisa dengan melebarkan sungai, membuat sejumlah tempat limpasan air di sepanjang DAS, membuat danau buatan, waduk, sampai dengan bendungan raksasa.

Mengurangi air permukaan juga banyak caranya; diantaranya memelihara hutan, membuat terasering di perbukitan / pegunungan yang kemiringannya ke arah bukit / gunung itu sendiri (bukan ke arah sungai / lembah), memelihara tanah agar mampu menyerap air lebih banyak, membuat sumur resapan di lingkungan permukiman / perkotaan.

Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan? Ternyata kebalikan dari resep mengurangi banjir. Kita malah mengurangi kapasitas saluran dan menambah air permukaan. Danau dan rawa diurug, bantaran sungai dirampas jadi permukiman, hutan ditebang, tanah disulap jadi beton dan aspal tanpa sumur resapan, endapan sungai dibiarkan menumpuk di bendungan (sehingga kapasitas menampung airnya berkurang).

Coba kita perhatikan di rumah kita sendiri. Katakan luas tanah 200 m2, luas bangunan horisontalnya 120 m2, jadi sisa tanah terbuka 80 m2. Perhatikan, kemana air hujan mengalir setelah jatuh dari atap rumah kita? Ke selokan. Kemana air di halaman kita mengalir setelah tanahnya tidak mampu lagi menyerap hujan? Ke selokan. Kemana aliran air selokan rumah kita? Ke sungai! Kalikan jumlah air yang mengalir ke sungai itu dengan jutaan rumah yang "konstruksi-air"-nya serupa dengan rumah kita. Itu baru rumah, belum jalan, mal, pabrik, gedung perkantoran, dll. Di sisi lain, kapasitas sungai makin lama makin berkurang. Kalau sudah begini, banjir sudah menjadi suatu kepastian.

Jadi, banjir itu bukan bencana alam, bukan hukuman Tuhan. Itu bunuh diri manusia secara bersama-sama dan perlahan-lahan.