Presiden Soeharto wafat, 27 Januari 2008.
Tahun 1998, saya baru pulang berenang mengantar anak saya. TV di rumah sudah menyala dan sedang menayangkan Presiden Soeharto berpidato. Kemudian, "saya, dengan ini menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden Indonesia...". Saya merasa lega, karena saya pikir hal ini menjadi jalan keluar dari situasi hiruk-pikuk dan trauma kerusuhan seminggu sebelumnya. Saya langsung berangkat ke kompleks DPR bersama istri saya untuk merayakan kejadian ini bersama para mahasiswa di sana.
Tahun 1988, saya baru selesai menunaikan jabatan sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin ITB, dengan lega, karena tidak harus bentrok dengan aparat keamanan. Resiko bentrok ini selalu disandang aktivis kampus pada jaman itu, mengingat atmosfir yang sangat represif. Setahun sebelumnya, hanya gara-gara demo menentang helm, aparat keamanan menumpas demonstrasi mahasiswa di Makassar dengan jatuhnya korban jiwa. Setahun sesudahnya, 1989, demonstrasi menolak Rudini di kampus ITB telah menyebabkan sejumlah aktivis masuk penjara.
Tahun 1978, saya masih kelas 2 SMP. ITB diduduki tentara, karena mahasiswa menolak Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden pada Sidang Umum MPR. Karena ayah saya adalah agen suratkabar di Bandung, maka saya termasuk anak yang tahu pertama kali bahwa pada hari itu sejumlah suratkabar di Jakarta dan Bandung dibredel, tidak boleh terbit. Di sekolah, ternyata anak kelas 3 sudah menyiapkan mimbar bebas menampilkan orasi anti pemerintah dan Soeharto. Jam 09.00 panser tentara sudah nongkrong di depan sekolah dan kami bubar lari. Sejak saat itu sekolah di seluruh Bandung ditutup selama 2 bulan, libur. Akibatnya tahun ajaran molor sampai 6 bulan sehingga awal tahun ajaran bergeser dari semula Januari menjadi Juli.
Tahun 2008, ada kelegaan melihat cara media meliput Presiden Soeharto sejak sakit sampai wafat. Lega, karena bangsa kita (maksudnya: pemerintah) tidak mengulangi kesalahan memperlakukan Presiden Soekarno sedemikian buruk ketika sakit dan wafatnya. Walaupun agak berlebihan (tapi bukankah ini sudah menjadi ciri bangsa: dari ekstrim satu ke titik ekstrim lain), namun saya pikir memang demkianlah seharusnya kita memperlakukan presiden kita.
Apapun hasil karya Presiden Soeharto bagi bangsa ini setelah berkuasa 32 tahun, tampaknya tidak bersisa karena kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pembangunan ekonomi yang tumbuh sampai 7-9 % per tahun ternyata dibiayai oleh hutang yang tidak dikelola dengan baik. Krisis 1997-1998 menumbangkan ekonomi seperti rumah kertas. Stabilitas dan persatuan yang dibanggakan ternyata dibangun dengan tangan besi dan pembungkaman. Kekuasaaan yang terlalu lama di satu tangan telah menyebabkan tumbuhnya budaya ABS, feodal, menjilat, yang juga menyuburkan lahan untuk KKN. Atmosfir yang represif ditambah budaya feodal baru, pada akhirnya menumbuhkan manusia Indonesia tidak memiliki karakter yang dibutuhkan untuk tantangan abad baru: kreativitas, kejujuran, kerja keras.
Namun saya belum bisa menjawab pertanyaan: apakah Presiden Soeharto harus diadili untuk mempertanggungjawabkan jabatannya? Saya tidak ingin seorang presiden Indonesia harus diadili karena ternyata kebijakannya keliru dan oleh karena itu tidak lagi diterima oleh jaman baru. Namun, di sisi lain, kerusakan ekonomi yang ditimbulkan juga luar biasa hebat, terutama korupsi, baik dari segi budaya, maupun dari segi kerugian ekonomi. Jadi, saya sering berpikir, bila urusannya lebih kepada rasa keadilan, yang berujung pada uang hasil korupsi, maka justru sekarang lah saat yang tepat untuk menyita harta (yang dicurigai) hasil korupsi. Saya pikir republik ini sama sekali tidak berhutang budi kepada anak-anak Presiden Soeharto. Walaupun mungkin mereka pintar berbisnis, rasanya sulit ditolak akal sehat bahwa modal awal bisnis mereka adalah ada kemudahan karena ayah mereka adalah presiden. Dan kemudahan, pada jaman itu, sangat dekat dengan korupsi.
SILENCE
7 tahun yang lalu