Jumat, 12 November 2010

The Example of Indonesia


Di bawah ini adalah terjemahan bebas pidato Presiden Amerika Barrack Obama di Universitas Indonesia tanggal 10 November 2010. Terjemahan bebas berarti bukan versi resmi dan bukan oleh penerjemah tersumpah. Tambahan lagi, karena saya juga bukan penerjemah profesional, maka bisa jadi ada kekeliruan menerjemahkan frase dan idiom.Jadi bila ada kekeliruan penafsiran, tentunya yang berlaku adalah versi aslinya (bahasa Inggris). Versi asli bahasa Inggrisnya dapat dilihat di sini.

Akan lebih baik, terutama bagi yang tidak melihat siaran langsungnya, untuk melihat video pidato ini sehingga bisa menangkap suasananya secara lebih baik. Video dapat diunduh di sini.

Judul "The Example of Indonesia" diambil dari judul resmi video ini di situs Gedung Putih.

Kata-kata yang dicetak tebal dan miring adalah kata-kata yang diucapkan Presiden Obama dalam bahasa Indonesia.

Selamat membaca, semoga bermanfaat.



Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih banyak, terima kasih semuanya. Selamat pagi (tepuk tangan). Saya sangat berbahagia bisa berada disini di Universitas Indonesia. Kepada dosen-dosen dan staff dan para mahasiswa, dan kepada Dr. Gumilar Rusliwa Sumantri, terima kasih banyak atas penyambutan anda. (tepuk tangan).


Assalamualikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang hangat ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih kepada rakyat Indonesia.


Pulang kampung nih (tepuk tangan). Saya sangat senang bisa kembali ke Indonesia, dan Michelle bisa mendampingi saya. Setelah beberapa kali tertunda di awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi sebuah negara yang sangat berarti bagi saya. Sayangnya, kunjungan kali ini terlalu singkat, tapi saya harap saya akan dapat berkunjung kembali ke Indonesia tahun depan dalam rangka KTT Asia Timur. (tepuk tangan).


Pertama-tama, saya ingin menyampaikan bahwa pikiran dan doa kami selalu bersama rakyat Indonesia yang terkena musibah tsunami dan letusan gunung api – terutama mereka yang kehilangan keluarga yang dicintai dan yang terpaksa mengungsi. Dan saya ingin anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika bahu membahu bersama Indonesia dalam menanggulangi bencana alam, dan kami sangat senang bisa membantu bila diperlukan. Sejalan dengan tetangga yang menolong tetangga lainnya dan keluarga yang mengungsi, saya tahu bahwa sekali lagi kekuatan dan keuletan rakyat Indonesia akan mampu mengatasi musibah ini.


Ijinkan saya memulai dengan pernyataan sederhana: Indonesia bagian dari diri saya. (tepuk tangan). Saya datang pertama kali ke negeri ini ketika ibu saya menikah dengan seorang warga negara Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai anak kecil – sebagai anak kecil saya datang dari dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia dengan cepat membuat saya merasa betah di rumah.


Jakarta – sekarang Jakarta terlihat sangat berbeda dibanding dulu. Dahulu kota ini terdiri dari bangunan yang tingginya hanya beberapa lantai. Itu tahun 1967-68 – kebanyakan dari anda belum lahir waktu itu. (Tertawa). Hotel Indonesia adalah salah satu dari hanya beberapa gedung tinggi, dan hanya ada satu pusat perbelanjaan bernama Sarinah. Cuma itu. (tepuk tangan). Becak dan bemo adalah alat transportasi utama. Jumlahnya melebihi jumlah mobil saat itu. Dan dulu tidak ada jalan raya seperti jalan tol sekarang. Kebanyakan jalan tidak beraspal dan jalan kampung.


Kami pindah ke Menteng Dalam, dimana – (tepuk tangan) – hey, sepertinya ada beberapa orang dari Menteng Dalam disini. (tepuk tangan). Kami tinggal di rumah kecil, dengan sebuah pohon mangga di halaman depan. Saya belajar mencintai Indonesia ketika bermain layang-layang, berlarian di sepanjang pematang sawah, menangkap capung, membeli baso dan sate dari penjaja keliling. (tepuk tangan). Saya masih ingat cara memanggilnya. Sate! (tertawa). Saya ingat. Baso! (tertawa). Tapi yang paling penting adalah, saya ingat orang-orangnya – orang-2 tua, laki dan perempuan, yang menyambut kami dengan senyuman, anak-anak yang membuat seorang anak asing bisa merasa menjadi tetangga dan teman, dan guru-guru yang menolong saya belajar tentang negeri ini.


Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan rakyat dari berbagai daerah dan suku bangsa, masa saya tinggal di sini telah membantu saya menghargai rasa kemanusiaan sesama manusia. Sementara ayah tiri saya, seperti kebanyakan orang Indonesia, dibesarkan secara Muslim, beliau sangat yakin bahwa semua agama layak untuk dihormati. Dengan cara ini – (tepuk tangan) – dengan cara ini beliau merefleksikan semangat toleransi beragama yang kemudian ditulis di Konstitusi Indonesia, dan telah menjadi salah satu karakteristik yang membentuk dan mengilhami negeri ini. (tepuk tangan).


Saya tinggal selama empat tahun – suatu masa yang membantu membentuk masa kanak-kanak saya; masa saya melihat kelahiran adik perempuan yang cantik, Maya; masa yang telah memberi kesan khusus kepada ibu saya yang telah membuatnya terus datang kembali ke Indonesia selama 20 tahun berikutnya untuk tinggal, bekerja dan berkunjung – dan untuk mewujudkan impian beliau memberikan peluang di desa-desa Indonesia, terutama peluang bagi perempuan. Dan saya merasa sangat tersanjung –(tepuk tangan) – sangat tersanjung ketika Presiden Yudhoyono semalam pada saat jamuan makan kenegaraan menganugerahkan penghargaan atas apa yang telah ibu saya lakukan. Tentunya beliau akan sangat merasa bangga, karena Indonesia dan rakyatnya sangat dekat di hati beliau selama hidupnya. (tepuk tangan).


Sangat banyak perubahan terjadi selama empat dekade sejak saya pulang kembali ke Hawaii. Bila anda bertanya kepada saya – atau kepada teman2 sekolah saya saat itu – saya yakin tidak seorang pun mengira bahwa suatu hari saya akan kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika (tepuk tangan). Dan juga sangat sedikit yang dapat mengira catatan mengesankan Indonesia selama empat dekade ini.


Kota Jakarta yang pernah saya kenal sekarang telah tumbuh menjadi kota padat dengan populasi hampir 10 juta orang, dengan gedung-gedung pencakar langit yang jauh lebih tinggi dari Hotel Indonesia, dan lengkap dengan pusat-pusat kebudayaan dan komersial yang megah. Dulu saya dan teman-teman Indonesia saya biasa berlari di lapangan naik kerbau dan kambing – (tertawa) – sekarang generasi baru Indonesia termasuk dalam kelompok yang paling terhubung di dunia internet, melalui telepon seluler dan jejaring sosial. Sementara Indonesia sebagai bangsa baru masih berfokus ke dalam, Indonesia yang sedang tumbuh ini sekarang memainkan peran kunci di Asia Pasifik dan ekonomi global. (tepuk tangan).


Sekarang, perubahan ini juga berujung ke politik. Ketika ayah tiri saya masih anak-anak, beliau melihat ayah dan kakaknya pergi meninggalkan rumah untuk bertempur dan gugur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekarang saya berbahagia bisa di sini di Hari Pahlawan untuk mengenang demikian banyak orang-orang Indonesia yang telah berkorban demi negeri yang hebat ini. (tepuk tangan).


Ketika saya pindah ke Jakarta, tahun 1967, saat itu adalah masa terjadinya pennderitaan yang sulit dan konflik yang hebat di sebagian Indonesia. Walaupun ayah tiri saya adalah seorang tentara, pembunuhan dan kekerasan yang terjadi pada huru-hara politik saat itu tidak saya ketahui karena hal ini tidak dibicarakan di keluarga Indonesia saya dan teman-teman saya. Di rumah saya, seperti lazimnya di rumah keluarga lainnya di Indonesia, kenangan periode itu merupakan sesuatu yang samar-samar. Indonesia sudah merdeka, tapi seringkali mereka takut untuk mengungkapkan pikiran mereka atas suatu persoalan.


Bertahun-tahun kemudian, Indonesia telah menorehkan jejaknya sendiri melalui suatu transformasi demokratik yang luar biasa – dari kekuasaan tangan besi ke kekuasaan rakyat. Dalam tahun-tahun terakhir ini, dunia telah menyaksikan dengan harapan dan kekaguman bagaimana Indonesia telah melaksanakan peralihan kekuasaan secara damai dan pemilihan langsung para pemimpinnya. Sementara demokrasi anda disimbolkan dengan pemilihan langsung Presiden dan parlemen, demokrasi anda juga diperkuat dan didukung oleh pengawasan dan keseimbangan, masyarakat madani yang dinamis, partai politik dan perserikatan, media yang bersemangat, serta warga negara yang terlibat yang semuanya memastikan bahwa – di Indonesia – tidak akan terjadi pembalikan dari demokrasi.


Walaupun tempat tinggal saya di masa anak-anak ini telah berubah banyak, hal-hal yang saya cintai tentang Indonesia – yaitu semangat toleransi yang tertulis di Konstitusi anda, dilambangkan di mesjid-mesjid, gereja-gereja, dan pura-pura yang berdiri berdampingan; yaitu semangat yang terpatri di setiap orang – semangat itu masih hidup. (tepuk tangan). Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi satu. (tepuk tangan). Ini adalah contoh utama Indonesia kepada dunia, dan ini adalah alasan Indonesia akan memainkan peranan penting di abad 21 ini.


Hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai teman, dan juga sebagai Presiden yang mengusahakan kemitraan yang erat dan tahan lama di antara dua negara. (tepuk tangan). Sebagai sesama negara besar dan beranekaragam, bertetangga di kedua ujung Pasifik, dan yang terpenting sebagai sesama negara demokratis – Amerika dan Indonesia saling terikat oleh kepentingan dan nilai-nilai bersama.


Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya telah mengumumkan Kemitraan Komprehensif baru antara Amerika dan Indonesia. Kita akan meningkatkan hubungan antar pemerintahan di berbagai area, dan – juga sama pentingnya – kita akan meningkatkan hubungan antar rakyat kita. Ini adalah kemitraan yang sejajar, berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati.


Jadi, hari ini saya ingin menyampaikan alasan betapa pentingnya cerita yang tadi saya utarakan – yaitu cerita tentang Indonesia sejak saya pernah tinggal di sini – bagi Amerika dan dunia. Saya akan fokus di tiga bidang, yang saling berhubungan, dan sangat mendasar bagi kemajuan manusia – yaitu pembangunan, demokrasi, dan keyakinan beragama.


Pertama, persahabatan Amerika dan Indonesia bisa menguntungkan kepentingan bersama kita di bidang pembangunan.


Ketika saya pindah ke Indonesia, sangat sulit membayangkan suatu masa depan yang menghubungkan kemakmuran keluarga-keluarga di Chicago dan di Jakarta. Tetapi sekarang ekonomi kita tumbuh secara global, dan Indonesia sudah berpengalaman dengan sisi baik dan buruk globalisasi: dari malapetaka krisis keuangan Asia di tahun 90-an, sampai ke jutaan orang yang bisa terlepas dari jerat kemiskinan karena pertumbuhan perdagangan dan perniagaan. Itu artinya – dan kita pelajari di krisis ekonomi baru-baru ini – bahwa kita saling memiliki kepentingan di kesuksesan pihak lainnya.


Amerika berkepentingan agar Indonesia tumbuh dan menbangun, dengan kemakmuran yang lebih merata di rakyat Indonesia – karena kelas menengah yang tumbuh di sini berarti pasar baru bagi barang-barang kami, sama seperti Amerika adalah pasar bagi barang-barang dari Indonesia. Jadi kami menambah investasi di Indonesia, dan ekspor kami telah tumbuh hampir 50%, dan kami membuka pintu bagi warga Amerika dan Indonesia untuk bisa saling bekerja sama.


Amerika berkepentingan agar Indonesia memiliki hak untuk berperan membentuk ekonomi gobal. Sekarang sudah bukan jamannya lagi tujuh atau delapan negara berkumpul untuk menentukan arah pasar global. Karena itulah, G20 sekarang menjadi pusat kerjasama ekonomi internasional, sehingga ekonomi yang sedang tumbuh seperti Indonesia memiliki suara lebih besar sekaligus tanggung jawab yang lebih besar untuk mengarahkan ekonomi global. Dan melalui kepemimpinan kelompok anti-korupsi di G20, Indonesis dapat memimpin di panggung dunia dan memberi contoh pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas. (tepuk tangan).


Amerika berkepentingan agar Indonesia mengusahakan pembangunan berkelanjutan, karena cara kita tumbuh akan menentukan kualitas hidup kita dan kesehatan planet kita. Karena itulah kami mengembangkan teknologi energi bersih yang bisa menggerakkan industri dan melindungi sumber daya alam Indonesia yang sangat berharga – dan Amerika menyambut kepemimpinan yang kuat negara anda dalam usaha global mengatasi perubahan iklim.


Di atas semua itu, Amerika berkepentingan atas kesuksesan rakyat Indonesia. Dibalik itu semua, kita harus membangun jembatan di antara rakyat kita, karena kita berbagi masa depan keamanan dan kesejahteraan kita bersama. Tepatnya itulah yang sedang kita lakukan – dengan meningkatkan kerjasama di antara ilmuwan dan peneliti kita, dan bekerja sama memperkuat kewirausahaan. Saya sampaikan dengan gembira bahwa kita bertekad untuk melipat-gandakan jumlah mahasiswa Amerika dan Indonesia yang akan bertukar sekolah belajar di negara tujuan. (tepuk tangan). Kita ingin lebih banyak mahasiswa Indonesia belajar di Amerika, dan kita ingin makin banyak mahasiswa Amerika belajar di negara ini. (tepuk tangan). Kita ingin memperkuat hubungan baru dan saling pengertian yang lebih besar di antara kaum muda di negara muda ini.


Isu-isu inilah yang sangat berarti di keseharian hidup kita. Pembangunan, pada akhirnya, bukanlah suatu hal sederhana soal tingkat pertumbuhan dan angka-angka neraca. Pembangunan adalah tentang bagaimana seorang anak bisa mempelajari ketrampilan yang diperlukan agar bisa sukses di dunia yang berubah ini. Pembangunan adalah tentang bagaimana suatu ide yang baik dapat berkembang menjadi suatu usaha yang tumbuh, dan tidak ditelan oleh korupsi. Pembangunan adalah bagaimana agar kekuatan yang telah mengubah Jakarta yang saya kenal dulu – yaitu teknologi, perdagangan, dan pergerakan orang dan barang – bisa menjelma menjadi kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi semua manusia, suatu hidup yang ditandai dengan kehormatan dan kesempatan.


Nah, pembangunan seperti ini tidak bisa dipisahkan dari peran demokrasi.


Sekarang, kadang-kadang kita mendengar bahwa demokrasi menghalangi kemajuan ekonomi. Ini bukan hal yang baru. Khususnya di masa-masa perubahan dan ketidakpastian ekonomi, sebagian orang mengatakan akan lebih mudah untuk mengambil jalan pintas pembangunan dengan menukar hak-hak kemanusiaan dengan kekuasaan negara. Tetapi ternyata itu tidak saya temui di India, dan tidak saya temui di sini di Indonesia. Pencapaian anda menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan saling memperkuat.


Seperti demokrasi di negara lain, dalam perjalanannya anda akan mengalami kemunduran. Amerika juga begitu. Konstitusi kami menyatakan agar mengusahakan suatu “persatuan yang lebih sempurna”, dan itulah perjalanan sejarah yang kami lalui sejak itu. Kami mengalami perang saudara dan kami bergulat memperjuangkan persamaan hak bagi semua warga negara. Tetapi justru perjuangan inilah yang membuat kami menjadi lebih kuat dan lebih sejahtera, sekaligus juga menjadi masyarakat lebih adil dan lebih bebas.


Seperti negara-negara lain yang lahir dari penjajahan kolonial di abad lalu, Indonesia telah berjuang dan berkorban untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri. Itulah makna Hari Pahlawan hari ini – suatu Indonesia untuk rakyat Indonesia. Tetapi anda juga sudah memutuskan bahwa kemedekaan tidak bisa berarti menggantikan penjajahan kolonial dengan penindasan oleh bangsa sendiri.


Tentu saja demokrasi itu kacau. Tidak setiap orang puas atas hasil setiap pemilu. Anda mengalami naik dan turun. Tetapi justru perjalanan itulah yang sangat berharga, lebih berharga dari perhitungan suara. Dibutuhkan suatu lembaga yang kuat untuk memeriksa kekuasaan – konsentrasi kekuasaan. Dibutuhkan suatu pasar terbuka agar individu bisa berkembang. Dibutuhkan suatu pers bebas dan sistem peradilan yang bebas untuk membasmi penyalahgunaan dan penyelewengan, serta untuk menekankan pertanggungjawaban. Dibutuhkan masyarakat yang terbuka dan warganegara yang aktif untuk menolak ketidaksetaraan dan ketidakadilan.


Hal-hal tersebut menjadi kekuatan yang akan mendorong Indonesia maju. Dan akan dibutuhkan penolakan mentolerir korupsi yang menghalangi setiap peluang, suatu komitmen tranparansi yang membuat pemerintahan bertanggung jawab kepada setiap rakyat Indonesia, dan suatu keyakinan bahwa kemerdekaan rakyat Indonesia – yang telah diperjuangkan selama ini adalah kekuatan yang menjaga bangsa besar ini tetap bersama.


Itulah pesan dari rakyat Indonesia yang telah menceritakan kisah demokratik ini – dari para pejuang yang telah bertempur di Surabaya 55 (65?) tahun yang lalu, sampai ke mahasiswa yang berbaris damai untuk demokrasi di 90-an, sampai ke para pemimpin yang telah melaksanakan peralihan kekuasan secara damai di negara muda ini. Karena sesungguhnya, sudah menjadi hak bagi setiap warga negara yang akan merajut bersama Nusantara yang luar biasa ini dari Sabang sampai Merauke, suatu keteguhan – (tepuk tangan) – suatu keteguhan bahwa setiap anak yang lahir di negara ini harus diperlakukan setara, apakah ia berasal dari Jawa atau Aceh, dari Bali atua Papua. (tepuk tangan). Bahwa semua rakyat Indonesia memiliki hak yang sama.


Sekarang Indonesia berusaha menampilkan contoh dari perjuangannya itu di panggung dunia. Indonesia telah berinisiatif membantuk Forum Demokrasi Bali, suatu forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam memperkuat demokrasi. Indonesia juga sudah berdiri di depan untuk mendorong lebih banyak perhatian atas hak-hak asasi manusia di ASEAN. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, dan Amerika mendukung hak itu. Tetapi rakyat di Asia Tenggara juga harus memiliki hak yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Karena itulah kami mengutuk pemilu di Burma baru-baru ini yang bukan pemilu bebas dan adil. Karena itulah kami mendukung masyarakat madani anda yang penuh semangat untuk saling bekerja sama di wilayah ini. Karena sesungguhnya tidak beralasan suatu penghormatan atas hak-hak asasi manusia harus berhenti di perbatasan suatu negara.


Jadi, pembangunan dan demokrasi adalah saling melengkapi – suatu gagasan bahwa sejumlah nilai-nilai tertentu adalah universal. Kemakmuran tanpa kebebasan adalah suatu bentuk lain dari kemiskinan. Karena ada aspirasi manusia yang sama – kemerdekaan untuk mengetahui bahwa para pemimpin anda bertanggung jawab kepada anda, dan anda tidak akan ditangkap bila tidak setuju dengan mereka; kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan terhormat; kebebasan untuk mengamalkan kepercayaan anda tanpa rasa takut atau dibatasi. Hal-hal itu adalah nilai-nilai universal yang harus diperhatikan dimana saja.


Kemudian, agama adalah topik terakhir yang ingn saya sampaikan hari ini, dan - seperti demokrasi dan pembangunan – hal ini merupakan dasar kisah Indonesia.


Seperti bangsa Asia lainnya yang saya kunjungi dalam perjalanan saya kali ini, Indonesia adalah negara yang sangat beragama – rakyatnya beribadah kepada Tuhan dengan berbagai macam cara. Bersamaan dengan keberagaman yang kaya ini, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia – suatu kenyataan yang saya sadari sejak saya kecil ketika dulu saya mendengar adzan dikumandangkan di seluruh Jakarta.


Seperti individu yang dibentuk tidak hanya oleh keyakinannya sendiri, Indonesia juga dibentuk tidak hanya oleh populasi Muslimnya. Tetapi kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika dan masyarakat Muslim mengalami kecekcokan dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai Presiden, saya mebuat prioritas untuk mulai meperbaiki hubungan ini. (tepuk tangan). Sebagai bagian dari usaha itu, saya mengunjungi Kairo Juni tahun lalu, dan saya menyerukan suatu permulaan yang baru antara Amerika dan Muslim di seluruh dunia – suatu jalan terobosan baru bagi kita untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kita.


Waktu itu saya katakan, dan sekarang saya ulangi, bahwa tidak mungkin sebuah pidato bisa menghilangkan ketidakpercayaan yang sudah terjadi bertahun-tahun. Namun waktu itu saya percaya, sebagaimana saya masih percaya hari ini, bahwa kita mempunyai pilihan. Kita bisa memilih ditentukan oleh perbedaan kita, dan menyerah kepada masa depan yang penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita memilih untuk bekerja keras menciptakan kebersamaan, dan bertekad untuk selalu mengejar kemajuan. Dan saya berjanji – tidak peduli berapa banyak kemunduran yang bisa terjadi, Amerika akan selalu berkomitmen kepada kemajuan kemanusiaan. Itulah kami. Itulah yang telah kami lakukan. Dan itulah yang akan kami lakukan. (tepuk tangan).


Sekarang, kita telah mengenal baik masalah yang menjadi ketegangan selama bertahun-tahun – dan masalah-masalah ini sudah saya sampaikan juga di Kairo. Dalam kurun 17 bulan sejak pidato saya di Kairo, kita telah mencapai beberapa kemajuan, tetapi pekerjaan kita masih banyak.


Warga sipil tak berdosa di Amerika, di Indonesia, dan di seluruh dunia masih menjadi sasaran kekerasan para ekstrimis. Saya perjelas disini bahwa Amerika tidak, dan tidak akan pernah, beperang dengan Islam. Sebaliknya, kita harus bekerja sama untuk mengalahkan Al Qaeda dan sekutunya, yang tidak berhak menyatakan diri sebagai pemimpin suatu agama – apalagi suatu agama yang besar dan mendunia seperti Islam. Tetapi bagi siapa saja yang ingin membangun, jangan memberikan peluang dan alasan bagi teroris untuk melakukan kehancuran. Dan tugas ini bukan menjadi tugas Amerika sendiri. Seperti yang terjadi di Indonesia, anda mencapai prestasi tersendiri untuk membasmi para ekstrimis dan memerangi kekerasan semacam itu.


Di Afganistan, kami meneruskan usaha bersama koalisi bangsa-bangsa untuk membangun kemampuan pemerintah Afganistan untuk menjamin masa depannya. Kepentingan bersama kita adalah membangun perdamaian di tanah yang tercabik-cabik oleh perang – suatu perdamaian yang tidak memungkinkan bersarangnya para ektrimis kekerasan, dan suatu perdamaian yang memberikan harapan bagi rakyat Afagnistan.


Sementara itu kami juga telah mencapai kemajuan atas satu dari beberapa tekad utama kami – usaha kami untuk mengakhiri perang di Irak. Hampir 100.000 tentara Amerika sudah kami tarik sejak saya menjadi presiden. (tepuk tangan). Rakyat Irak telah mengambil tanggung jawab penuh untuk keamanan mereka. Dan kami akan terus mendukung Irak dalam bentuknya sebagai pemerintahan yang inklusif, dan kami akan memulangkan semua tentara kami.


Di Timur Tengah, kami telah menghadapi permulaan yang salah dan kemunduran, tapi kami tetap bertekad mengusahakan perdamaian. Israel dan Palestian telah memulai kembali perundingan, tetapi masih ada kendala yang luar biasa besar. Jangan berilusi bahwa perdamaian dan keamanan akan tercipta dengan mudah. Tetapi jangan ragu: Amerika akan sungguh-sungguh mengusahakan tujuan yang adil dan menjadi kepentingan bersama para pihak – dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan aman. Inilah tujuan kami. (tepuk tangan).


Pertaruhannya sangat tinggi dalam menyelesaikan masalah ini. Di dunia yang menjadi semakin kecil, sementara di satu sisi kekuatan yang menghubungkan kita telah membuka peluang dan kemakmuran, di sisi lain kekuatan ini juga telah memberdayakan pihak-pihak yang ingin menghancurkan kemajuan. Satu bom meledak di pasar bisa melenyapkan aktivitas perniagaan. Satu bisikan desas-desus bisa menutuoi kebenaran dan memicu kekerasan di masyarakat yang semula hidup berdampingan dengan damai. Di jaman yang berubah cepat dan benturan budaya ini, kadang-kadang kita kehilangan kemanusiaan kita.


Namun saya percaya bahwa sejarah Amerika dan Indonesia seharusnya bisa memberi harapan yang baik. Sejarah yang dituliskan di semboyan kita. Di Amerika, semboyan kami adalah E pluribus unum – dari banyak, satu. Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi satu. (tepuk tangan). Kita adalah dua bangsa, yang telah menempuh sejarahnya masing-masing. Namun bangsa kita menunjukkan bahwa ratusan juta orang dengan keyakinan berbeda-beda dapat dipersatukan dalam kemerdekaan di bawah satu bendera. Dan kita sekarang membangun kemanusiaan bersama – melalui para pemuda kita yang akan saling bertukar negara untuk sekolah; melalui para wira usaha membangun hubungan yang membawa ke kemakmuran yang lebih baik; dan melalui usaha-usaha kita menciptakan nilai-nilai dasar demokratis dan aspirasi asasi manusia.


Sebelum saya kesini, saya mengunjungi mesjid Istiqlal – suatu tempat beribadah yang masih dalam tahap pembangunan ketika saya tinggal di Jakarta. Saya mengagumi menara mesjid yang menjulang tinggi, kubah yang mengagumkan, dan suasana yang hangat. Tetapi nama dan sejarahnya juga menyatakan kebesaran Indonesia. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan pembangunannya sebagian merupakan kesaksian atas perjuangan bangsa untuk merdeka. Lebih jauh lagi, tempat beribadah ribuan orang Muslim ini dirancang oleh seorang arsitek Kristen. (tepuk tangan).


Itulah semangat Indonesia. Itulah pesan yang termaksud di dalam filosofi inklusif Indonesia, Pancasila. (tepuk tangan). Di sepanjang kepulauan yang berisikan ciptaan Tuhan yang paling indah, pulau-pulau timbul di atas lautan yang dinamakan untuk perdamaian, rakyat memilih agamanya masing-masing dengan bebas. Isalm berkembang, demikian juga agama lainnya. Pembangunan diperkuat dengan tumbuhnya demokrasi. Tradisi tetap bertahan, walaupun kekuatan baru datang.


Bukan berarti Indonesia sempurna. Tidak ada negara sempurna. Namun kita dapat menemukan kemampuan untuk menjembatani perbedaan ras, wilayah, dan agama – dengan kemampuan melihat diri sendiri di orang lain. Sebagai anak yang rasnya berbeda datang dari negara yang jauh, saya menemukan semangat ini dalam sambutan yang saya terima ketika pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai orang Kristen yang mengunjungi mesjid, saya menemukannya dalam kata-kata seorang imam yang bertanya kesan atas kunjungan saya dan berkata, “Muslim juga diterima di gereja. Kita semua hamba Tuhan.”


Hal itu menyalakan jiwa ketuhanan yang hidup di diri kita masing-masing. Kita tidak dapat menyerah dalam keraguan, kesinisan, atau keputus-asaan. Kisah bangsa Indonesia dan Amerika seharusnya membuat kita optimis, karena telah mengajarkan kepada kita bahwa sejarah berpihak kepada kemajuan manusia, bahwa persatuan lebih kuat daripada perpecahan; dan bahwa rakyat di dunia ini bisa hidup bersama dengan damai. Semoga kedua bangsa kita ini, bekerja sama, dengan keyakinan dan tekad keras, bisa berbagi nilai-nilai ini bagi seluruh umat manusia.


Sebagai penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: terima kasih atas...(tepuk tangan). Terima kasih. Assalamualaikum. Terima kasih.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Malapetaka KPR Amerika

Catatan ini sekedar upaya pemahaman saya pribadi atas kejadian krisis keuangan global yang dimulai oleh krisis subprime mortgage di Amerika.

PERUMAHAN
Salah satu ideologi ekonomi Amerika adalah kepemilikan rumah. Memiliki rumah adalah salah satu mimpi Amerika. Rumah / properti juga dijadikan aset utama rakyat Amerika, mulai dari orang biasa sampai elit sekelas Donald Trump dan Robert T Kiyosaki.

Pada umumnya orang Amerika membeli rumah dengan fasilitas kredit (seperti KPR di Indonesia). Sejak depresi tahun 1930-an, sebagai salah satu upaya keluar dari krisis, pemerintah AS membangun infrastruktur ekonomi termasuk sektor properti dan perumahan. Pada tahun 1938 pemerintah AS membentuk BUMN The Federal National Mortgage Association (disingkat secara kreatif Fannie Mae). Tugasnya adalah membeli KPR dari perbankan sehingga perbankan memperoleh dana lagi untuk memberi KPR kepada lebih banyak rakyat Amerika. Fannie Mae membundel sejumah KPR untuk dijadikan produk sekuritas, mortgage-based securities (MBS). Fannie Mae menjual  MBS ini kepada para investor (Wall Street) atau menerbitkan obligasi dengan jaminan MBS ini. Para debitur KPR tetap melakukan pembayaran cicilan melalui bank asal, kemudian bank ini menyalurkan pembayaran itu kepada Fannie Mae untuk diteruskan kepada para investor.

Pada tahun 1968 Fannie Mae diprivatisasi. Kemudian untuk mengakhiri monopoli Fannie Mae pada tahun 1970  Kongres AS mengijinkan berdirinya perusahaan swasta The Federal Home Loan Mortgage Corporation (disingkat Freddie Mac). Meskipun tidak didanai pemerintah, 5 dari 18 direktur Freddie Mac ditunjuk oleh pemerintah (Majalah Tempo 21 September 2008). Kedua perusahaan ini sering disebut sebagai Government Sponsored Enterprise (GSE).

Selain itu, undang-undang perpajakan di AS juga memberi insentif untuk memiliki rumah, yaitu bunga cicilan KPR bisa dijadikan sebagai pengurang pajak.

UANG MURAH
Pada tahun 2000, ketika "DotCom" mania mulai tumbang, maka ekonomi AS memasuki perlambatan. Ditambah kejadian 9/11 pada 2001, maka ekonomi AS mengalami 2 pukulan bertubi-tubi. Bank sentral AS (The Fed) bereaksi dengan cara memotong bunga Fed rate berkali-kali sampai ke tingkat 1,25% p.a. Langkah ini memang manjur, ekonomi berputar kembali. Investasi marak karena biaya investasi (bunga riil) boleh dikatakan negatif (Al Jazeera, How Financial Bubble Burst).

Terjadi fenomena uang murah, pinjaman mudah. Hal ini memacu orang untuk (salah satunya) membeli rumah (ingat, kepemilikan rumah adalah impian Amerika). Karena permintaan meningkat, maka harga rumah juga melonjak. Para developer berlomba-lomba membangun rumah, para investor menanamkan uangnya disektor properti.

Harga rumah naik 20 persen per tahun (ingat hal ini terjadi pada waktu Fed rate hanya 1.25-2% per tahun). Menurut cerita, ada orang Indonesia tinggal di Washington DC membeli rumah tahun 1998 dengan harga US$ 210 ribu. Lima tahun kemudian ia menjualnya dengan harga US$ 410 ribu . Ibaratnya, orang ini tinggal 5 tahun tanpa membayar, malah dibayar.

Jika harga rumah naik 20 persen per tahun, maka di tahun kedua, nilai rumah (yang dijadikan jaminan) sudah 120 persen. Dengan demikian, nilai pinjaman (yang awalnya 100 persen terhadap nilai jaminan), pada awal tahun kedua menjadi hanya 83%. Nasabah yang pada tahun pertama hanya membayar bunga saja, tanpa pokok cicilan, tiba-tiba pada tahun kedua seakan-akan sudah membayar uang muka sebesar 17% (Cyrillus Harinowo, Majalah Tempo 12 Oktober 2008). Maka mulailah perbankan menawarkan KPR tanpa uang muka, dan mereka mulai menggarap segmen nasabah yang beresiko, khususnya nasabah berpendapatan rendah yang baru pertama kali membeli rumah. Ini yang disebut nasabah "sub-prime".


BUBBLE BURST
Karena harga rumah naik terus, maka perlahan-lahan mulai terjadi inflasi. Secara bertahap The Fed merespon dengan menaikkan suku bunga The Fed bertahap sampai akhirnya mencapai 5.25%. Karena tingkat bunga naik secara bertahap, maka para nasabah KPR perlahan-lahan melihat cicilan rumahnya juga perlahan-lahan naik, sampai.....suatu ketika mereka sadar mereka sudah tidak mampu bayar cicilan lagi. (Untuk Indonesia, situasi ini mirip bila suku bunga KPR yang sekarang rata2 10 persen perlahan-lahan naik menjadi 40%). Maka KPR mulai macet satu per satu, terutama bagi golongan "sub-prime" tadi. Maka dimulailah periode penyitaan rumah.

Para developer, tidak sadar atas situasi baru ini,  terus membanjiri pasar dengan rumah-rumah baru. Penjualan mulai seret, karena KPR mulai mahal. Stok rumah kosong makin bertumpuk, baik yang berasal dari rumah baru, maupun yang dari rumah sitaan.

Pada tahun 2006, harga rumah mulai turun. Di Florida dan California, harga rumah merosot 10, 15, bahkan 20 persen. Gelombang gagal bayar dan penyitaan makin membesar. Ditambah lagi karena nilai rumah turun, maka nilai jaminan juga turun, yang pada banyak kasus, menjadi lebih kecil daripada nilai pinjaman yang tersisa (Al Jazeera, How The Financial Bubble Burst).

Pada 2007, para kreditur KPR mulai goyah karena makin banyak kredit macet, beberapa diantaranya mulai bangkrut. Pada 2008 gelombang macet ini mencapai Wall Street, memakan Bear Sterns, kemudian Fannie Mae dan Freddie Mac, lalu Lehman Brothers dan Merryll Linch dan AIG.


SEKURITISASI MORTGAGE
Seperti diuraikan di atas, KPR-KPR di Amerika dibundel dan disekuritisasikan menjadi produk sekuritas yang dapat diperjual-belikan, seperti layaknya saham dan obligasi. Produknya dinamakan Mortgage-Based Securities (MBS), ada juga yang disebut sebagai Collateralised Debt Obligation (CDO).  Fannie Mae dan Freddie Mac berperan atas sekitar 50% dari total proses sekuritisasi mortgage di Amerika. Diperkirakan kedua GSE ini memegang mortgage senilai US$ 5.2 trilyun. Perdagangan MBS/CDO ini pada awalnya dimaksudkan untuk menyuntik dana segar ke perbankan sehingga mereka bisa membiayai KPR lebih banyak lagi.

Para pembeli produk sekuritas mortgage ini sangat banyak, mulai dari Reksadana, Dana Pensiun, Hedge Funds, Private / Investment Banks, dan lain-lain; di Amerika dan di seluruh dunia. Lehman Brothers, JP Morgan, Citigroups, Deutsche Bank salah satu di antara para pembeli itu.

Untuk melindungi pembeli / pemegang MBS / CDO ini, lalu muncul produk turunan yang dinamakan Credit Default Swap (CDS). Ini semacam asuransi obligasi yang melindungi pemilik obligasi dari kerugian bila obligee-nya mengalami kesulitan. Perusahaan yang menerbitkan asuransi ini tentunya harus menyisihkan dananya sebagai "kolateral", sehingga penerbit CDS bisa membayar klaim.

Dengan asumsi bahwa harga properti akan naik terus, maka perdagangan MBS / CDO berikut derivatifnya (CDS dll) makin naik volume dan nilainya, berlipat-lipat di atas nilai awal mortgage-nya.


KEKACAUAN WALL STREET
Sekitar 20% dari jutaan mortgage yang diperjual-belikan ternyata merupakan kategori "sub-prime".  Ternyata pula, sebagian MBS / CDO tadi mengemas mortgage "prime" dan "sub prime" dalam satu bundel / produk. Konsekuensinya, pada saat baik, mortgage "sub prime" akan dinilai sebagai produk bagus, karena disatukan dengan mortgage "prime". Sebaliknya, ketika situasi memburuk, maka mortgage "prime" akan dinilai buruk karena bersatu dengan mortgage "sub-prime". Ketika para nasabah "sub-prime"  mulai mengalami gagal bayar cicilan, maka dimulailah malapetaka ini.

Di garis depan yang pertama bangkrut adalah kreditur KPR, dimulai sejak tahun 2007. Mereka mengalami kesulitan likuiditas (karena nasabah gagal membayar cicilan), ditambah kerugian karena nilai jaminan menjadi dibawah nilai pinjaman.

Fannie Mae dan Freddie Mac giliran berikutnya. Karena berpotensi mengalami kerugian, para investor melepas saham GSE ini di bursa Wall Street. Akibatnya saham kedua perusahaan ini jatuh bebas. Sejak awal 2008, saham biasa kedua perusahaan ini jatuh 85% dengan kapitalisasi pasar yang hilang lebih dari 100 milyar dollar. Menghitung kerugian saham preferensi agak lebih sulit. Mereka menerbitkan sejumlah saham preferensi dengan harga yang berbeda-beda. Salah satu saham preferensi Freddie Mac yang diterbitkan 29 November 2007 pada $25 per saham misalnya, ditutup dengan nilai $12.87 pada 27 Agustus 2008, menimbulkan total kerugian hampir 3 milyar dollar bagi pemegangnya. (Business Week, Fannie Mae and Freddie Mac: A Damage Report).

Berikutnya, para pemegang MBS / CDO. Karena nilai produk sekuritas ini terus turun, maka para pemegangnya harus menghapus-bukukan nilai dan mencatat kerugian. Akibatnya, saham perusahaan-perusahaan ini juga terjun bebas.  Karena tekanan kerugian dan anjloknya saham, dampaknya mulai mencapai investment-bank. Pada Maret 2008, Bear Sterns, investment-bank kelas utama yang pertama tumbang. 

Para pemilik dana menjadi ekstra hati-hati. Mereka menghentikan pinjaman kepada individu, private-banks, bahkan antar perbankan. Mengalami tekanan bertubi-tubi: kerugian MBS/CDO yang dipegangnya, hancurnya harga saham perusahaannya, dan hilangnya sumber pendanaan / pinjaman, akhirnya membuat Lehman Brothers bangkrut. 

CDS yang seharusnya diterbitkan dengan kolateral, ternyata banyak yang dibuat tanpa jaminan. Ini mungkin yang menyebabkan perusahaan asuransi AIG megap-megap sehingga harus dibantu pemerintah AS sejumlah 85 milyar dollar.

Bangkrutnya Lehman Brothers mengungkap lebih banyak borok. Seperti para dealer lainnya, Lehman melakukan transaksi beresiko tinggi memindahkan uang dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Dalam suatu transaksi derivatif, mitra diminta untuk menaruh kolateral, yang kemudian oleh Lehman kolateral ini digunakan berkali-kali untuk transaksi pengumpulan dana yang berlainan.  Asosiasi International Derivatif dan Swap (ISDA) memperkirakan para investment-bank berhasil mengumpulkan kolateral para mitra mereka sejumlah $2 trilyun, yang kemudian dijadikan kolateral lagi oleh para investment-bank itu untuk memperoleh dana beberapa kali lipat. Pengadilan kepailitan Lehman saat ini menangani sekitar 1 juta transaksi derivatif yang macet senilai lebih dari 700 milyar dollar dengan sekitar 8000 partner yang menuntut pengembalian kolateralnya. (Business Week, Lehman: One Big Derivatives Mess).


DUNIA GONCANG
Lehman juga menyebabkan main keringnya likuiditas pendanaan, yang pada akhirnya mendorong Wall Street makin jeblok. Setelah mulai batuk karena sub-prime mortgage, Wall Street makin hancur karena gabungan faktor-faktor: kerugian para emiten yang mengakibatkan investor menjual saham, praktek short selling yang makin menurunkan nilai saham, keringnya likuiditas yang menyebabkan pelaku pasar menjual saham untuk mendapatkan dana tunai, dan kepanikan karena tidak ada yang tahu sebesar apa gunung es yang ada di bawah permukaan.

Karena seluruh bursa saham di dunia saling terhubung satu dengan yang lain, maka faktor-faktor di atas juga terjadi di semua bursa saham di dunia. Bank-bank di Eropa memiliki banyak eksposure terkait dengan produk MBS/CDO ini. Penurunan nilai sekuritas ini memaksa bank-bank mencatatkan kerugian (dalam orde milyar-milyar dolar), yang kemudian menjatuhkan nilai saham bank-bank ini, kemudian memicu kepanikan para nasabah bank atas keamanan simpanan mereka di bank.  Sejumlah pemerintah di Eropa telah menasionalisasi sejumlah bank dalam rangka menjamin dana simpanan para nasabah.

Bursa saham Indonesia tidak terkecuali. Faktor negatif lokal juga memperparah IHSG. Faktor lokal yang dimaksud adalah transaksi Repo dan sentimen negatif kelompok Bakrie. Rupiah juga merosot nilainya terhadap dollar Amerika karena gabungan faktor-faktor: pelarian modal investor asing dari bursa ke luar negeri (mungkin untuk menutupi kerugian atau kebutuhan dana), dan kepanikan para pelaku ekspor-impor yang tiba-tiba menghadapi situasi kurangnya pasokan dollar.


Sejauh ini, begitulah pemahaman saya atas krisis finansial global yang bermula dari krisis subprime mortgage di Amerika. Entri selanjutnya akan menguraikan pemahaman saya mengenai langkah perbaikan yang dilakukan.


Sabtu, 09 Agustus 2008

Merah Kirmizi


Novel karya Orhan Pamuk ini (pemenang Nobel Sastra 2006) memang bukan novel baru. Edisi bahasa Indonesia terbit tahun 2001, cetakan kedua terbit tahun 2006. Saya sendiri baru selesai membacanya hari ini, padahal saya beli di Palasari Lebaran tahun lalu.


Ceritanya mengenai pembunuhan 2 seniman Ustmaniyah di ujung abad ke enambelas yang terjadi di ibukota Istanbul. Eksplorasi pengarang atas pembunuhan ini berkembang luas: cinta getir banyak segi, benturan peradaban, deskripsi seni terutama seni lukis yang fasih, dan sejumlah dongeng klasik.


Para tokoh dalam buku ini muncul secara bergantian dan masing-masing bertutur mengenai apa yang terjadi dilihat dari sudut pandang masing-masing tokoh. Pada adegan pembunuhan, misalnya, Pamuk menceritakan adegan ini dilihat dari tokoh yang dibunuh dan pada bab berikutnya cerita dari si pembunuh.


Pamuk juga mampu bercerita detil. Untuk satu adegan pembunuhan, dia mampu bertutur sebanyak empat halaman, mulai dari sekarat sampai tewas; itu baru dari sisi tokoh yang dibunuh, belum cerita si pembunuhnya.


Novel ini juga bercerita tentang kehidupan para seniman masa itu, khususnya seni lukis, berikut intrik-intrik seniman istana, dan benturan peradaban yang menyertainya. Ada perdebatan soal apakah melukis makhluk hidup "seindah aslinya", termasuk manusia, bertentangan dengan hukum Allah atau tidak. Perdebatan itu membawa terpecahnya masyarakat menjadi tiga golongan: golongan puritan, yaitu yang menganggap bahwa seni itu harus mengabdi pada hukum Tuhan, karena itu tidak boleh tercampur dengan budaya asing (dalam hal ini budaya Eropa / non Muslim); golongan liberal, yang menganggap bahwa seni itu untuk kepuasan rohani manusia, sehingga bisa bersumber dari Barat dan Timur; dan golongan ditengah, yaitu masyarakat umum.


Tapi terus terang saja, saya cape baca novel ini. Mungkin karena gaya bertutur para tokohnya yang cenderung monolog. Sedikit sekali dialog. Detil-detil cerita secara rumit (bagi saya) ditaruh di narasi deskriptif para tokoh dalam memandang atau melakukan suatu peristiwa.

Saya juga tidak mampu mengerti kaitan antara judul novel dengan isi ceritanya. Maaf, barangkali novel ini bukan gue banget.


Jumat, 13 Juni 2008

Dangerous Silence

Ketika Nazi memburu kaum komunis, aku diam saja; karena aku bukan komunis.
Ketika mereka menangkap kelompok sosial demokrat, aku juga diam; aku bukan sosial demokrat.
Ketika mereka mengejar golongan serikat dagang, aku tidak protes; aku bukan anggota serikat.
Ketika mereka memburu orang Yahudi, aku tetap diam; aku bukan Yahudi.
Ketika mereka menangkapku, sudah tidak ada yang tersisa untuk melawan.

Puisi di atas berjudul "First They Came", karya Martin Niemöller (14 January 1892 – 6 March 1984); seorang teolog dan pastor Lutherian terkemuka Jerman yang anti Nazi. Walaupun pada mulanya ia adalah pendukung Nazi, sejak tahun 1934 ia mulai menentang Nazi. Ia ditangkap dan dipenjarakan di kamp konsentrasi di Sachsenhausen dan Dachau sejak tahun 1937. Dia berhasil selamat dan menjadi tokoh yang bersuara vokal mengenai rekonsiliasi Jerman setelah Perang Dunia II.

Puisi ini sering dikutip untuk menjelaskan bahaya dari suatu sikap "apatis politik". Situasi yang berbahaya ini biasanya bermula dari adanya ancaman kebencian dan ketakutan yang spesifik dan tertarget, yang kemudian berkembang menjadi tidak terkontrol.

Sekarang ini saya merasakan semacam "kegamangan" yang tidak rasional, yang membuat saya khawatir bahaya itu bisa terjadi di Indonesia. Ketika kebebasan beragama mulai dipasung berselimutkan penodaan atas agama. Ketika kaum minoritas dikejar-kejar mentang-mentang mereka kecil dan tidak melawan. Ketika negara mulai mencampuri keyakinan individu atas nama ketertiban umum. Dan ketika sekelompok kecil radikal mengatasnamakan kelompok mayoritas yang diam saja.

Mudah-mudahan kekhawatiran saya tidak beralasan. Namun puisi di atas mengingatkan untuk selalu kritis dan tidak apatis.

Senin, 21 April 2008

Kodrat Perempuan

Kodrat perempuan itu ada tiga: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Itu saja, tidak kurang, tidak lebih. Demikian dikatakan salah satu psikolog (?) dalam suatu acara pagi di stasiun I-Radio. Urusan lainnya yang selama ini di-"konotasi"-kan sebagai kodrat perempuan, seperti urusan dapur, cleaning services, dandan, mengasuh anak, dan lain-lain itu sebenarnya bukan kodrat perempuan. Untuk melakukan hal-hal yang terakhir itu, sumber daya yang dibutuhkan (yaitu tangan, kaki, kepala, syaraf otak, dll) juga dimiliki oleh laki-laki.

Saya setuju dengan pendapat itu. Urusan rumah, dapur, membesarkan anak, dan sebagainya yang selama ini menjadi "kodrat" perempuan sebenarnya hanya suatu "kontrak sosial" antara sekelompok lelaki dan sekelompok perempuan di dalam suatu masyarakat. Lebih khusus lagi, itu merupakan "kontrak perkawinan" antara suami dan istri dalam suatu rumah tangga. Jadi pembagian peran dan pekerjaan itu terbuka untuk ditinjau dan dibicarakan kembali oleh para pasangan suami istri. Tidak usah bawa-bawa kodrat untuk menghindari atau menginginkan suatu peran atau pekerjaan dalam kehidupan berumah tangga maupun bersosial masyarakat.

Jadi, sekali lagi: urusan menghamili itu kodrat laki-laki. Urusan dihamili itu kodrat perempuan. Demikian juga mengandung, melahirkan, dan menyusui, itu kodrat perempuan; laki-laki gak bakalan bisa deh.

Jumat, 29 Februari 2008

Busway: Mati Muda?

Ketika ada kabar bahwa jalur busway koridor Ragunan-Kuningan akan dijadikan jalur contra- flow dengan sistem buka tutup, saya langsung bilang: "Wah, selesai nih busway!"


Sistem contra-flow itu berarti pada jam-jam sibuk, bus Transjakarta akan menggunakan jalur busway yang berlawanan arah. Supaya tidak bertabrakan dengan bus dari arah sebaliknya akan diterapkan sistem buka-tutup. Lalu jalur busway yang seharusnya dipakai bus Transjakarta itu akan digunakan untuk jalur mobil biasa, supaya mengurangi kemacetan. Lho????


Bila sistem ini jadi dilaksanakan, maka para pengguna busway akan semakin berkurang kenyamanannya, kemudian pengguna makin berkurang, sehingga pengelola rugi terus, akhirnya program busway tutup. Padahal semula busway ditujukan untuk meningkatkan kualitas angkutan massal sehingga mampu mengurangi pemakaian mobil pribadi. Selain itu, sistem contra-flow seakan-akan "mengakui" bahwa penyebab kemacetan adalah busway, bukan mobil pribadi.


Program busway memang menghadapi sejumlah masalah, salah satu yang paling mencolok adalah waktu tunggu penumpang. Jarak antar bus masih di atas 20 menit, malah kadang-kadang 30 menit, padahal pada jam sibuk idealnya head ini berkisar 5 menit. Juga karena head masih di atas 20 menit itu menyebabkan jalur busway sering terlihat kosong. Hal ini semakin menggoda para pengguna mobil pribadi untuk menyerobot jalur. Karena diserobot, pada titik-titik tertentu bus Transjakarta juga ikut terkena macet sehingga malah memperlama waktu tempuh penumpang (sekaligus waktu tunggu di halte).


Lucunya, bukannya menambah bus sehingga mampu mempersingkat head, tapi malah memperkenalkan sistem contra-flow. Aneh. Barangkali kita memang terbiasa berpikir lawak ala logika Srimulat.

Selasa, 26 Februari 2008

Kecerdasan Musik


Menyaksikan pergelaran Orkestra Cikini untuk kesekian kalinya, perasaan ini selalu campur-aduk. Pertama, rasa bangga karena putri kami ikut jadi pemain biola di sana. Sudah sejak kelas 3 SD sampai kini kelas 1 SMP, mulai dari orkes pemula, sampai sekarang anggota inti-yunior. Kedua, rasa haru karena selalu teringat almarhum orangtua. Orangtua-lah, terutama ibu, yang mengenalkan saya kepada musik klasik. Mereka juga yang memasukkan saya mengikuti les gitar klasik mulai kelas 6 SD. Ketiga, rasa senang karena bisa menikmati pergelaran orkestra klasik secara "live", walaupun hanya kelas lokal. Keempat, rasa curious karena ingin tahu dan penasaran apakah pengenalan musik, khususnya musik klasik, kepada anak-anak secara dini, akan mampu ikut membentuk kepribadiannya.


Kami percaya bahwa ada banyak kecerdasan, salah satunya adalah kecerdasan yang berkait dengan keindahan, musik misalnya. Kita tahu, sekolah formal terlalu menitik beratkan pada kecerdasan lingual-matematis, jadi tugas kitalah, orangtua, untuk menemukan kecerdasan lainnya yang mungkin dimiliki oleh anak-anak kita. Karena kita juga orang biasa, yang kecerdasannya juga biasa-biasa saja, maka menemukan kecerdasan anak kita menjadi tugas yang tidak mudah. Salah satu cara untuk mulai mencarinya adalah dengan memberikan paparan berbagai aspek kecerdasan bagi anak kita. Olahraga, bahasa, ruang spasial, bersosialisasi, dan musik.


Titik evaluasi penting yang sering membuat kami bimbang adalah, apakah kami sudah melanggar batas "perkenalan" atau "paparan" bermusik, dan mulai memasuki area "pemaksaan". Ketika anak sudah mulai malas, jenuh, atau tidak maju-maju, saya dan istri sering berdiskusi apakah sudah saatnya menghentikan paparan dan mulai mencari kecerdasan lainnya; atau hal ini hanya bagian dari "kemalasan" anak sehingga pencarian seharusnya tetap diteruskan. Dan ini sama sekali tidak mudah. Dua anak kami perilakunya juga berbeda.


Kami pilih musik klasik karena menurut pendapat saya, belajar memainkan alat musik melalui musik klasik akan mengalami lebih banyak paparan seluk-beluk keindahan seni musik. Dengan mengatakan ini tidak berarti saya melecehkan jenis musik lainnya. Namun harus diakui bahwa variasi struktur dan komposisi musik klasik jauh lebih banyak daripada jenis musik lainnya. Pengaruhnya juga melewati batas musik klasik. Lagu-lagu progresive-rock karya supergrup 70-an seperti Yes dan Genesis misalnya, sangat kental diwarnai oleh struktur musik klasik yang agak njelimet.



Kalaupun kecerdasan anak-anak kami bukan di musik, kami harap paparan musik yang kami lakukan bagi mereka akan memberikan bekas yang positif, entah itu kepribadian, ketrampilan, pengetahuan, atau sekedar pendengar saja. Dalam kaitan ini, saya sangat bersyukur dulu dipaparkan musik oleh orangtua saya. Walaupun sekarang saya hanya menjadi pendengar saja (bahkan karaoke pun tidak) namun saya sangat menikmati perjalanan hidup yang ditemani oleh seni musik dari berbagai genre. Atas segala kebaikan yang saya peroleh ini, mudah-mudahan pahala terus mengalir bagi kedua orangtua saya.


Mengenai anak-anak kami sendiri, well...., kitalah yang harus membukakan pintu-pintu dunia bagi mereka. biarlah mereka menemukan jalannya sendiri kelak.